Showing posts with label Parenting. Show all posts
Showing posts with label Parenting. Show all posts

Selamat Hari Ibu!

Tanggal 22 Desember merupakan hari peringatan atau perayaan yang dilakukan sebagai bentuk penghargaan terhadap perjuangan seorang ibu dalam keluarga. Sejarah mengatakan bahwa Hari Ibu ditetapkan sebagai hari Nasional sejak tahun 1959 oleh Presiden Soekarno. Setelah sebelumnya diputuskan dalam sebuah Kongres Perempuan Indonesia pada tahun 1928.

Mungkin sejarah tampak tidak begitu penting, namun di masa sekarang dimana segala sesuatu tampak 'abu-abu' sehingga memunculkan banyak keraguan. Informasi tersebut sangat diperlukan. Apalagi ketika saya sudah menjadi seorang ibu. Dimana, saya (dan juga suami) adalah kamus pertama untuk anak-anak. 

Terlebih di masa pandemi ini, perjuangan seorang ibu secara nyata mungkin  menjadi semakin berat. Anak-anak yang harus bersekolah di rumah atau pendapatan keluarga yang semakin terbatas. Belum lagi persoalan lain, seperti aktivitas yang terbatasi, membuat para ibu rentan untuk menjernihkan pikiran. Subhanallah... 

Tapi, Ibu, itu mungkin gambaran rasa ya. Menapaki kenyataano, kita haruslah senantiasa optimis dan berusaha mengedepankan berpikir positif. Mulailah dari bersyukur atas keadaan yang paling sederhana sekalipun, apapun itu. Alhamdulillah 'ala kulli hal, "segala puji bagi Allah dalam setiap keadaan”, mungkin bisa menjadi mantra penguat ibu. 

Sesuai dengan tema pemerintah tentang Hari Ibu tahun ini, yaitu 'Perempuan Berdaya Indonesia Maju', yaitu:

Untuk menjadi berdaya itu tidak hanya bisa diraih dengan materi saja. Buka pikiran seluas-luasnya, mohon petunjuk-Nya untuk bisa menyaring mana hal-hal yang baik saja. Ikuti ritmenya, maka terbitlah sebuah jalan untuk menghasilkan sesuatu. InsyaAllah. 


Selamat Hari Ibu, untuk para ibu (& calon ibu)  Indonesia. 

Stay safe, stay healthy, always positive mind for you all ❤

Happy mom, happy family, InsyaAllah πŸ˜‡



Kenalkan Kebiasaan Membaca pada Anak (Bagian 1)

Ibu dan Perpustakaan Az-Ziyadah.
Saya pernah mendapat pertanyaan seputar aktivitas membaca, yaitu (1) bagaimana caranya agar bisa suka membaca? Pertanyaan berikutnya, (2) bagaimana mengajarkan agar anak-anak suka membaca?


Jawaban Pertama,
Di usia saya yang sudah kepala tiga (ketahuan angkatan berapa ya?πŸ˜… ) membaca sudah merupakan bagian dari keseharian. Meski sudah mulai berbagi dengan membaca lewat gadget. Namun, membaca tulisan di kertas atau buku, setiap hari selalu dilakukan, meski hanya satu atau dua kalimat. 

Jadi, darimana kebiasaan membaca itu bermula? Tentunya dari kecil ya. Diawali dari komitmen ibu saya untuk membuat anak-anaknya bisa menulis dan membaca. Beliau rajin membuat kami berkutat dengan pensil dan kertas. Tapi, waktu itu tidak ada hasil lain selain bisa membaca dan menulis ya. Lain sekarang, jika dibimbing kreativitasnya mungkin bisa menjadi suatu karya yang lebih bernilai.

Back to my story, apakah lantas jadi suka membaca dari pensil dan kertas saja? Jawabnya, tidak. Seperti anak-anak pada umumnya, yang suka dengan hal-hal baru. Atau anak laki-laki yang suka mobil-mobilan, dan anak-anak perempuan yang suka boneka. Maka, untuk suka membaca, bapak dan ibu saya sering mendatangkan majalah atau buku baru untuk anak-anaknya. Biaya hidup keluarga yang terbatas tentu membuat mereka membuat trik-trik. Kami (saya dan saudari-saudari), saat itu tentu tidak berpikir sedalam itu. Hanya tahu bahwa kadang ada bacaan baru, kadang tidak.

Kini, membayangkan bapak dan ibu menyanggupi permintaan kami membeli majalah Bobo setiap kamis rasanya menyesakkan dada. Berapa rupiah anggaran belanja yang harus dialokasikan untuk membelinya, sedih...😭
Nah, jadi dalam keterbatasan, bapak dan ibu tetap memenuhi kebutuhan kami akan kebutuhan membaca. Bahkan ketika kami belum tahu apa pentingnya suka membaca buku.

Kembali kepada trik dan strategi, apa yang bapak dan ibu saya lakukan? Selain sesekali membeli sendiri, bapak sering membawa pulang buku bacaan dari perpustakaan sekolah. Memang maksudnya pinjam, tapi pinjamnya kadang sudah melebihi batas. Apakah tidak ada yang mencari? Sayangnya tidak, sepengetahuan saya seperti itu. Apakah tidak takut dosa, kan seperti mencuri? Tentu saja ada. Sering kami bertanya paa bapak, "bukunya tidak dikembalikan?". Kata bapak, kapan-kapan saja toh disana pun tidak ada yang membaca. Jadi, apakah kami jadi bagian dari penyelamat buku? Yang pasti pada suatu waktu, semua buku itu dikumpulkan dan tidak ada di rumah lagi (diloakkan?).

Cara yang lain dilakukan oleh ibu saya. Tidak, beliau tidak mengambil buku di perpustakaan sekolah. Beliau mendekatkan kami dengan adiknya, alias paman saya alias pak lik. Entah awal mulanya bagaimana, suatu hari pak lik datang lalu menaruh beberapa buku bacaan di hadapan saya dan saudari saya. Langsung tertarik? Saya, tidakπŸ˜†. Kakak saya adalah pemicunya. Buat anak kedua, kakak adalah panutan. Setelah kakak saya membaca, dia akan berkomentar. Dan komentarnya selalu membuat saya ingin ikut membacanya.

Jika dari bapak, buku yang didapat adalah buku karangan penulis dalam negeri. Dari pak lik, untuk pertama kalinya kami mendapat buku karangan luar negeri. Dan pilihan pak lik selalu cocok untuk kami. Buku petualangan dan keseharian karya Enid Blyton adalah buku-buku pertama yang dihadirkan. Buku favorit selanjutnya adalah karya S. Mara Gd. yang bercerita tentang misteri. 

Darimana kah pak lik mendapatkan buku-buku itu? Kalian harus tahu, karena ini sangat epik. Jadi, pak lik mendapatkan buku itu dari sebuah perpustakaan. Perpustakaan itu katanya sepi dan dijaga oleh seorang perempuan yang menggunakan kaca mata tebal. Bagaimana cara pak lik? Biar jadi rahasia saja ya. Yang pasti beberapa dari buku tersebut hingga sekarang masih disimpan. 

Kembali, apakah tidak takut dosa? Saking tidak nyamannya, sampai ketika pak lik datang dengan buku-buku yang bener-bener baru kami harus bertanya berkali-kali "ini beli atau bukan, Lik". Terakhir dengan meyakinkan katanya beli, Alhamdulillah.

Jadi pada suatu tahun lupa tepatnya, pak lik memberi saya dan dua saudari saya kado saat kami masing-masing ulang tahun. Kado tersebut berupa buku, dan berjumlah lebih dari satu. Di bulan Mei, kakak saya yang sudah beranjak remaja mendapatkan 10 atau lebih buku karya RL. Stine. Waktu itu sedang hits ya. Di bulan Juli, giliran saya, dengan jumlah yang hampir sama, pak lik datang membawa komik Jepang bertajuk Serial Cantik dan Serial Misteri. Di bulan Sepetember, giliran adik saya mendapatkan serial dongeng karya Enid Blyton, jumlahnya di atas 5. Tahun itu sepertinya menjadi tahun yang membahagiakan sekali, Alhamdulillah. Entah kapan akhir masa pak lik menyuplai kami buku-buku, mungkin saat kami sudah mulai sibuk dengan sekolah. (Terima kasih banyak, Lik πŸ™πŸ˜).

Salah satu kado untuk adik saya.
Mungkin buku-buku dari pak lik lah yang akhirnya memberi pengetahuan kepada kami bahwa ada jenis buku selain majalah Bobo dan buku perpustakaan yang bisa kami cari di toko buku. Selain dari tayangan televisi yang ada saat itu. Mulailah saya dan kakak suka membeli komik Doraemon atau Conan dengan uang tabungan sendiri. Sesekali saja, namun bisa menjadi lebih dari dua puluh buku, dimulai dari harga komik 4 ribuan rupiah (kalau tidak salah).

Banyaknya buku dan banyaknya anak-anak seumuran di sekitar kami, mendatangkan sebuah ide dari bapak (atau ibu juga) untuk mendirikan perpustakaan kecil dan sederhana. Sebab raknya pun dibuat hanya dengan kayu reng dan kawat (ide bapak). Perpustakaan itu diberi nama 'Az-Ziyadah' oleh bapak. Maknanya mendalam, kurang lebih adalah 'menambah'. Maksudnya adalah menambah pengetahuan bagi yang meminjam atau membaca buku-buku yang ada di perpustakaan. sekaligus menambah pendapatan, karena ada biaya untuk meminjamnya (sekitar 50 atau 100 rupiah). Meski pada kenyataannya lebih sering kami gratiskan, dengan alasan teman dekat. Semua yang pinjam adalah teman dekat akhirnya tidak ada pendapatan sama sekali ya πŸ˜….

Jejak masa lalu, Perpustakaan Az-Ziyadah
Saya lupa berapa lama perpustakaan itu bertahan, pun semakin bertambah usia dan sibuk sekolah. Dengan sendirinya buku-buku yang berjajar di rak dimasukkan dalam kotak-kotak kardus. Hingga suatu ketika diloakkan. Yang pasti mudah-mudahan dengan perpustakaan tersebut, bisa menebus kesalahan yang dilakukan sebelumnya, ketika meminjam permanen dan semi permanen buku orang lain ya.

Sampai di kesimpulan ya. Jadi, tidaklah instan untuk bisa suka membaca. Butuh usaha yang keras, konsisten, dan niat yang positif.  Agar langkah kita untuk diri sendiri atau apapun yang menjadi tujuan bisa terwujud dengan baik. Ada kendala tidak menjadi halangan untuk berhenti. Ciptakan trik dan strategi karena Sang Maha Baik juga tidak akan berhenti memberikan jalan selama kita mau berusaha.

Oya, proses membaca ada yang disebut pemahaman ya. Entah apa istilahnya. Untuk bisa membaca hingga memahami bacaan juga butuh waktu yang tidak singkat. Maksudnya begini, ada saatnya kita hanya membaca tulisan, tetapi tidak sampai ke pikiran dan hati pun tidak bisa merasakan energinya. Jika demikian, maka yang dilakukan hanya membaca tulisan saja tanpa memahami. Dan pengalaman saya, saya baru bisa men-sinkronkan semuanya saat usia 12 tahun.  Jadi, sebelum usia itu, membaca hanya membaca, namun tidak sampai di hati.

Demikian jawaban saya untuk pertanyaan pertama. Semoga yang baiknya bisa menjadi manfaatnya, yang jeleknya mohon dimaafkan ya.
Wallahu a'lam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.
Untuk jawaban pertanyaan kedua, lanjut di lain waktu ya.

Tabik,

Bintu Tsaniyah





 


Cara Efektif Agar Anak Semangat Sekolah


“Bu, aku besok gak mau sekolah!”kata si Mas.
“Lho, kenapa, Mas?” ibu bertanya.
“Pokoknya aku gak mau, males!”si Mas menjawab lantas mengerucutkan bibirnya, tanda ngambek.
Usut punya usut, ternyata si Mas merasa belum bisa membaca, sementara teman-temannya banyak yang sudah bisa. Padahal, orangtuanya tidak pernah memaksanya untuk segera bisa membaca lho. 
Ya, itu adalah gambaran yang dialami penulis bersama buah hatinya.  Apakah Ayah dan Ibu juga punya pengalaman serupa?  Mungkin tulisan ini bisa bermanfaat untuk menyingkapinya. 


Latar Belakang
Tidak bisa dipungkiri, sekolah saat ini dan zaman dahulu sudah jauh berbeda.  Perkembangan teknologi dan faktor-faktor lain membuat segala sesuatunya berjalan serba cepat dan tentu saja canggih.  Demikian pula tuntutan anak bersekolah.  Jika saat penulis kecil (generasi 80-an), pertama kali masuk sekolah adalah taman kanak-kanak usia 5 tahun.  Sementara saat ini, sudah ada istilah PAUD atau Pendidikan Anak Usia Dini dengan rata-rata usia muridnya kurang dari 5 tahun.  Meskipun (sebaiknya) kurikulum untuk anak usia dini berbentuk permainan.  Namun, itu sudah bagian dari alasan yang logis mengapa sekolah yang sebenarnya (sekolah dasar) mengharuskan anak-anak untuk segera bisa menguasai calistung (baca tulis hitung).

Jadi, jangan heran jika sekolah bisa jadi momok menakutkan.  Padahal sebaiknya sekolah adalah tempat terbaik, selain di rumah, untuk anak belajar segala hal.  Seperti belajar bersosialisasi, belajar ilmu pengetahuan, belajar ilmu agama dan membentuk kepribadian yang terarah.  Alangkah banyak manfaatnya.  Maka dari itu, sekolah sangat penting untuk anak-anak.

Lantas bagaimana jika anak-anak terlihat enggan untuk berangkat sekolah, seperti pengalaman penulis di atas?

Anak Bahagia, Semangat Sekolah
Penulis yakin ada banyak cara untuk mengatasi anak yang sedang tidak bersemangat sekolah.  Ada banyak teori yang mungkin bisa dipilih mana yang cocok dengan karakter anak Anda.  Namun, satu hal yang pasti, carilah dahulu akar permasalahan yang menyebabkan si anak merasa tidak bahagia di sekolah.  Setelah itu, lihat solusi apa yang kira-kira cocok.

Jika masalahnya tidak terkait dengan kekerasan fisik, maka kemungkinan karena kekhawatiran dan prasangka.  Perasaan yang negatif tersebut membuat anak takut untuk bersekolah.  Mungkin hal tersebut yang lebih menjadi alasan buah hati penulis saat enggan bersekolah.  Apalagi si kecil pun termasuk anak yang moody.

Sehingga solusi yang diambil penulis lebih kepada memperbaiki perasaan si kecil agar senantiasa bahagia. Berikut adalah cara-cara yang telah penulis coba lakukan, simak ya!

1.  Gerakan Rabu Ceria

Anak saya berusia 7 tahun dan 4 tahun, masing-masing laki-laki dan perempuan.  Keduanya masih sama-sama senang membeli mainan baru.  Meski hanya mainan senilai 2000 rupiah, tetapi jika diminta setiap hari, wajar jika saya, sebagai ibunya merasa tidak suka.  Sementara saya belum bisa membuat mereka berhenti total untuk belanja mainan.  

Alih-alih menghentikan kebiasaan tersebut dan mengurangi perdebatan dengan mereka, saya putuskan membuat Gerakan Rabu Ceria.  Apakah itu? Pada hari rabu, anak-anak saya berikan kesempatan membeli mainan.  Dan boleh lebih dari 2000 rupiah, saya katakan 10 ribu rupiah.  Kurang atau lebih pada hari itu saya ikhlas.  Perasaan ikhlas membuat saya bahagia, dan otomatis anak-anak pun baagia.  Mereka mendapat mainan baru, sekaligus tidak dimarahi oleh saya.

Mengapa harus hari rabu?  Suatu masa saya pernah membaca sebuah artikel tentang hari rabu yang menyatakan sebagai hari yang berat untuk seorang pekerja.  Namun, googling artikel lagi yang seperti demikian, ternyata tidak ditemukan lagi.  Justru rabu adalah hari yang menyenangkan.  Tapi apapun itu, jadwal sekolah si Tujuh Tahun di hari rabu memang lebih padat dibanding hari lainnya.  Oleh karena itu, InsyaAllah langkah saya tidak salah.  Cara ini cukup membantu membuat semangat anak-anak bersekolah cukup stabil.

2.  Gerakan “Ikuti Cara Bapak”

Sehari-hari bersama saya (ibunya), tentulah hal yang menyenangkan.  Anak-anak merasa aman dan nyaman.  Tetapi jika dilihat sebagai teman bermain, tentulah saya bukan favorit mereka.  Mengapa?  Karena ibu atau wanita adalah makhluk multi tasking.  Saat bermain, bisa jadi yang ada di pikirannya bermacam-macam, ada soal mencuci, memasak, dan lain sebagainya. Lain dengan ayah atau laki-laki, karakternya sebaliknya.  Para ayah akan fokus saat melakukan sesuatu.  Atas dasar itulah, bersama ayah tentunya (seharusnya) adalah hal yang menyenangkan.

Suatu kali, saat bermain di pantai, tiba-tiba si Empat Tahun menjilat kaos bapaknya.  Otomatis saya kaget dan sedikit menyalahkan.  Tetapi, bapaknya santai dan anak-anak pun biasa saja.  Si Tujuh Tahun menjawab, “Kan kata Bapak begitu, Bu, kalau habis kena air laut jilat kaos Bapak biar hilang asinnya.  Kan kaos Bapak bersih.” Saya cuma bisa geleng-geleng kepala sambil tertawa.  Tetapi kalo dipikir-pikir mengatasi masalah juga cara tersebut.  Ada banyak hal lain yang teratasi dengan cara bapak, meskipun tanpa bapak disamping mereka saat itu.  


Cara anak-anak mengikuti cara bapaknya, dinilai lebih asyik.  Seringkali saya mencoba menyarankan sebuah solusi, ternyata mereka lebih memilih cara Bapak.  Dan mereka melakukannya dengan senang hati.  Jika anak-anak sedang mempunyai masalah di sekolah, maka saya sampaikan ke bapaknya agar diberi pengertian tambahan oleh beliau.  Dan tentunya caranya asyik.  Buat anak-anak, terkadang buat saya tetap membuat geleng-geleng kepala, hehe.

Demikian dua cara yang penulis lakukan untuk menyemangati anak-anak yang sedang kurang bersemangat untuk bersekolah.  Sebetulnya masih banyak cara lain yang dilakukan, seperti mengajak bermain di luar rumah, bermain ke taman, atau sekedar berkunjung ke perpustakaan.  Mungkin bisa disampaikan pada kesempatan yang lain.

Jangan putus asa saat si kecil tidak bersemangat sekolah.  Belum tentu sekolahnya yang kurang baik atau anak kita yang kurang pandai.  Karena pada dasarnya semua anak pandai, sesuai bakatnya masing-masing.  Tuhan tidak pernah memberikan hamba-Nya kekurangan tanpa kelebihan.  Tugas orangtua adalah memotivasi.  Tidak perlu menekan mereka terlalu keras untuk mencapai suatu standar.  Kelak pada masanya, mereka bisa menjadi yang terbaik. Satu hal lagi, waktu bergerak maju, cara ini sudah pasti akan berubah seiring perkembangan usia anak-anak. Para orangtua harus terus mengawal dan mendidik anak-anaknya dengan penuh semangat.

Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat, selebihnya wallahu a'lam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.


Cara untuk Bahagia


Sumber: pixabay.com
Siapa yang tidak pernah mengalami kegagalan. Siapa yang tidak pernah mengalami kenyataan berbeda dengan yang diharapkan. Siapapun pasti pernah mengalaminya.

Sedari kecil untuk hal yang sesederhana meminta mainan atau baju tetapi tidak dipenuhi oleh ayah atau ibu.

Suatu kali aku pernah menjadi orang yang menggebu-gebu saat mencari tambahan uang demi meringankan beban orangtua.

Seorang diri menelusup ke berbagai lingkungan. Merasa mendapat secercah harapan ketika seakan mulai ada titik terang, saat menghadap satu dua pimpinan konsultan yang menerima dengan baik; atau saat berjalan bersama seorang pustakawan mencari referensi di kantor pusat, seakan kepastian sudah semakin dekat.

Namun, sesaat kemudian satu persatu harapan itu harus tertutup dan ditutup rapat. Saat itu kecewa sudah kalah oleh rasa bahwa diri ini memang belum atau tidak pantas.

Suatu kali lagi, aku merasa semua pertanda sudah menunjukkan bahwa dia, dia atau dia akan jadi denganku. Saat satu atau dua kali bertemu tanpa sengaja, saat tiba-tiba bertemu dengan nuansa pakaian yang sama, saat satu dua kali muncul bantuan yang sukarela.

Namun, hingga batas waktunya ternyata kisah itu berakhir tanpa terjadi apa-apa. Saat itu kecewa merasa segala tumpah ruah pikiran dan perasaan sia-sia dan merasa bahwa diri ini memang belum atau tidak pantas.

Ya, sepertinya memang seperti itu kehidupan, memiliki harapan, mengulik harapan, hingga akhirnya diberikan keputusan oleh Sang Maha. Sesederhana itu meski terkadang berjalan dalam waktu yang tidak singkat. Sehingga wajar jika seringkali berakhir dengan putus asa dan hilang semangat, jika gagal.

Kuharap kalian tidak sepertiku, jadi saat gagal melompatlah langsung ke satu keadaan ini.

Yakni, ikhlas dan bersyukurlah! 

Ikhlas artinya yakin bahwa Sang Maha menggariskan kegagalan dengan maksud terbaik-Nya, tidak ada siapapun yang lebih tahu dari-Nya. Bersyukur membuat ikhlas lebih mudah, juga mendorongmu untuk lebih maju menemukan cara baru untuk bangkit.

Berandai, jika kembali ke masa kegagalan dulu, maka rasa yang ingin kurubah adalah merasa diri tidak pantas dengan menyandingkan diri dengan sesama manusia. Rasa itu paling besar menyumbangkan rasa benci terhadap semua hal. Kedua adalah memandang pertanda sebagai acuan bahwa harapanku pasti terkabul. Karena pertanda juga perlu dicari kebenarannya.

Akhir kata, Wallahu 'alam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.


Ketika Si Kedua Beraksi dengan Mobil Remot

Foto: Dokumen Pribadi.
"Bu, diem aja ya, diem-diem aja!" si Kedua tegas menyuruhku patuh padanya.

Saat itu aku sedang fokus menonton tivi. Dan aku sudah bisa membaca maksudnya. Dia mau meletakkan mobil remot kakaknya di atas kepala berambutku (hallah), lalu dia akan menjalankan remotnya.

"I see that, Mbak," yakinku dalam hati.

Sayangnya, aku tidak kepikiran untuk memprediksi kelanjutannya, dan justru itu kesalahannya.

"Bu, pura-puranya ibu habis keramas ya, ibu diem aja!" kata si Kedua betul meletakkan mobilnya tepat di atas kepalaku.

Dia pasti mau berpura-pura menjadikan mobil itu sebagai pengering rambut seperti di salon tempo hari.

Ku ehemin saja.

Beberapa detik kemudian, werrrrrr... mobil remote mulai dijalankan. Satu dua detik perasaanku masih santai. Tetapi, detik berikutnya, hatiku tersentak seiring dengan sakit di kepalaku. Ya, rambutku mulai melilit kuat memutari roda mobil remot itu.

Sejurus teriakanku mengaduh menguasai pikiranku, aku masih sadar jika mobil remot masih dijalankan si Kedua.

"Aduh, sakit! Stop! Stop, Mbak!" kataku meninggi pada si Kedua.

Akhirnya si Kedua ngeh, mobil remot mulai senyap, seiring stabilnya rasa di kepalaku. Tinggal berpikir bagaimana caranya melepaskan lilitan itu. Dan, akhirnya giliran si Sulung berperan. Si Sulung yang sejak tadi cuma menonton dan berkali-kali kudengar bertanya "ada apa - ada apa".

" Mas, tolong ambilkan gunting di belakang tempat sampah bufet tuh, cepat!"

"O ya, Bu."

"Ayo cepat gunting nih rambut Ibu, (sambil menunjukkan posisi) ya sini... Sama sini. Udah gunting aja. Semua!"

Krezzz... Selesai. Alhamdulillah. Mobil remot bebas, hanya kali ini di rodanya tampak sebonggol rambut melilit. Cara efektif dan efisien, meskipun efeknya merusak tatanan rambut. Baiklah, pasti nanti tumbuh lagi ya kan?!

"Makasih, Mas, udah membantu Ibu, Mas ternyata sudah hebat ya, bagus!" pujiku pada si Sulung yang merespon cepat dan bekerja sesuai aturan.

Selanjutnya, aku melirik pada adiknya yang sejak mobil remote senyap seakan terlupakan. Dia nampak lesu dan terdiam.

"Mbak, lain kali gak boleh lagi ya naruh mobilnya ke kepala, sakit tau. Sudah, Ibu gak marah. Dan makasih ya, tadi sudah minta maaf, sudah Ibu maafkan, sini peluk!" seketika wajah si Empat Tahun itu ceria, seperti biasa, mood mudah berubah cepat. Lalu dia senyum dan berlari memelukku.

Ya, sebetulnya ada satu momen manis yang sempat "kusingkirkan" dulu. Yaitu, sewaktu si Kedua mengucapkan maaf. Seketika, sesaat setelah pertama kalinya aku mengaduh kesakitan.

"Maaf, bu..." katanya lirih.

Alhamdulillah, si Kedua mulai bisa menempatkan rasa dengan baik.

Dan selanjutnya, aku teringat kalau gunting yang dipakai tadi bernoda saus. Memang selalu ada saatnya ketika hal lain tidak penting, kecuali sebuah respon cepat.

Beruntung sausnya tidak menempel di rambutku!

(Berdasarkan kisah nyata antara ibu, si Kedua 4y2m, dan si Sulung 6y11m)

Foto: Dokumen Pribadi.









Pola Asuh Anak ala Rasulullah

Asuh anak, ilustrasi.
Sumber: pixabay.com
(Ini adalah ringkasan tausiyah yang disampaikan oleh Ustadzah Citra dalam Majlis  Ta'lim Tabligh wa Tadzkir RA Al Washliyah Sindang, Indramayu. Ditulis kembali dengan sedikit referensi tambahan penulis, guna untuk memperjelas.)


Pola asuh tersebut terkait dengan apa yang disebut sunah. Dilansir dari kbbi.web.id (retrieved 15/04/2019), sunah adalah aturan agama Islam yang didasarkan atas segala apa yang dinukilkan dari Nabi Muhammad saw, baik perbuatan, sikap, maupun kebiasaan yang tidak pernah ditinggalkannya. Jadi, pola asuh anak menurut Rasululah adalah segala perbuatan, sikap maupun kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah dalam mengasuh anak-anaknya. Sebagai manusia biasa, ada baiknya kita mengikuti apa yang disunahkan oleh Rasulullah dan menjadikannya tradisi yang harus diikuti. Sebab, dengan melaksanakan sunah ada nilai ibadah didalamnya.

Tradisi sunah ini berbeda dengan tradisi budaya yang dibawa oleh nenek moyang. Tradisi Rasulullah jika ditelusuri InsyaAllah memiliki dasar keilmuan yang pasti. Sementara yang terkait dengan tradisi budaya belum tentu, misalnya larangan anak gadis duduk di depan pintu karena dikhawatirkan kelak jauh jodoh. Tradisi semacam itu jika dirunut riwayatnya, seringkali akan berujung pada "kata orangtua", jika didesak lagi akan muncul kata "pokoknya".
Kembali ke pola asuh anak, menurut sunah Rasulullah ternyata terbagi dalam 3 fase. Fase tersebut dibagi berdasarkan kelipatan 7 tahun usia anak. Yaitu Fase 7 Tahun Pertama, Fase 7 Tahun Kedua, dan Fase 7 Tahun Ketiga. Sehingga bisa dikatakan tanggung jawab penuh orangtua akan berlangsung selama 3 kali kelipatan 7, atau 21 tahun. Sungguh bukan waktu yang singkat ya, Masya Allah!Adapun pengertian sekaligus perbedaan dari masing-masing fase adalah sebagai berikut:


1. Fase 7 Tahun Pertama (0-7 tahun)
Rasulullah menganjurkan mendidik anak dengan kasih sayang. Boleh memberi perintah atau mengajarkan aturan, namun sebatas pengenalan. Tidak ada tuntutan harus dilaksanakan. Seringkali orangtua mungkin kesal saat anaknya tidak menurut seketika, ekspresikan boleh tetapi sebaiknya tanpa emosi(PR banget untuk penulis). 

Ilustrasi fase 7 tahun pertama.
Sumber: Pribadi.
2. Fase 7 Tahun Kedua (7-14 tahun)
Rasulullah menganjurkan mendidik anak dengan prinsip dan kedisiplinan. Tahap ini seorang anak mulai dikenalkan pada
tanggung jawab dan konsekuensi. Salah satu hadis yang menguatkan cara ini adalah 'Perintahkan anak-anak untuk melaksanakan salat ketika ia berumur tujuh tahun, dan pukullah (bila meninggalkannya) ketika ia sudah berusia 10 tahun" (Shahih Lighairi, HR. Abu Dawud at-Tirmidzi).

Ilustrasi fase 7 tahun kedua.
Sumber: Pribadi.
3. fase 7 Tahun Ketiga (14-21 tahun)
Rasulullah menganjurkan mendidik anak dengan prinsip bermusyawarah. Dalam fase ini bujukan atau pukulan dianggap sudah tidak relevan lagi. Anak-anak sudah paham mana salah dan benar, halal dan haram. Segala persoalan apalagi saat anak
melakukan kesalahan, maka proses pemecahannya dengan bermusyawarah, bersama-sama mencari jalan keluar terbaik.

Ilustrasi fase 7 tahun ketiga.
Sumber: Pribadi.
Harapan menerapkan pola pengasuhan anak ala Rasulullah ini adalah untuk membentuk barisan para insan kamil. Dalam ekomarwanto.com (retrieved 15/04/2019). insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata, insan dan  kamil. Secara harfiah, insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna. Terdapat 5 kriteria seorang insan kamil, antara lain sehat jasmani, bahagia rohani, kehidupan sosial baik, mempunyai penghasilan dan keharmonisan dalam rumah tangga.

Beberapa hal lain yang bisa menjadi bahan renungan dalam mendidik anak yang disampaikan dalam tausiyah, antara lain:

1. Mengenai program masuk SD usia 7 tahun, jika dikaitkan dengan pola pengasuhan ala Rasulullah, maka hasilnya adalah sinkron. Usia 7 tahun menjadi usia yang cocok untuk anak mulai diajarkan tentang kedisiplinan dan tanggung jawab. 
Ustadzah mengajak agar kita senantiasa tabayyun saat melihat segala aturan yang ada di sekitar kita. Agar segala sesuatu bisa diambil positifnya. 

Tabayyun adalah mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya. Caranya dengan meneliti dan menyeleksi berita, tidak tergesa-gesa dalam memutuskan masalah baik dalam hal hukum, kebijakan dan sebagainya hingga jelas benar permasalahannya.

2. Pengalaman Ustadzah saat berkunjung ke suatu rumah tahfidz dimana santri yang mondok rata-rata duduk di kelas 4, 5 dan 6. Beliau mengajukan pertanyaan kepada mereka, "sebentar lagi akan Lebaran, siapa yang rindu rumah?". Serentak anak-anak menjawab dengan riuh " Saya!". Namun, beliau melihat ada satu anak yang diam saja, firasat beliau mengatakan aneh. Demi meyakinkan hati beliau, pertanyaannya diulang kembali, "Siapa yang rindu rumah?" Dan, ketika yang lain menjawab sama, anak itu pun tetap sama, tetap diam. 
Akhirnya setelah ada kesempatan, beliau mendekati anak tersebut.

Ustadzah memastikan, "nak, kok tadi kamu tidak ikut menjawab, apa kamu tidak rindu rumah?"
Dengan jujur dan polos, anak itu menjawab, "tidak, saya tidak suka pulang ke rumah," Ustadzah meminta dia melanjutkan, "soalnya kalo di rumah ibu selalu belain adik, selalu adik yang benar, saya salah. Bahkan ketika adik betul-betul salah, saya tetap yang disalahkan."
Saat itu Ustadzah bertanya lagi lebih dalam, "Hanya itu kamu jadi tidak rindu orangtuamu?"

Si anak menggeleng, "Saya juga tidak suka di rumah karena ayah dan ibu selalu tidak berhenti menyuruh saya, mengambilkan minum saya, mengambil remote tv saya, bahkan mengecilkan volume tv pun saya, saya tidak suka pulang ke rumah, Ust."
Menceritakan kembali ternyata juga cukup membuat hati trenyuh dan cukup membuat bahan renungan untuk kita, khususnya penulis.
Demikian Ustadzah mengajak para orangtua untuk benar-benar dalam mendidik anak, 

Akhir kata, Wallahu a'lam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.



Ibu-ibu Majlis Ta'lim Tabligh wa Tadzkir RA Al Washliyah Sindang bersama Ustadzah Citra (berjilbab ungu).
Sumber: Ummi Dzakia


SINKRON


Ilustrasi ibu, ayah dan anak.
Sumber: pixabay.com

Pria : "Hmm... Memang ya ibu betul-betul berpengaruh buat kondisi anak-anaknya."
Wanita : "Iya sih, tapi kamu harus tahu kondisi ibunya juga bergantung sama sikap,a ayahnya!"
Pria : "O... Hmm...." (Nyengir kuda)

Setelah menjadi orangtua, urusan anak-anak bukan hanya urusan ibu ATAU ayah. Tetapi, urusan ibu DAN ayah.


Konspirasi Milenial (?)

Ilustrasi kakak dan adik dengan gawainya.
Sumber: Pribadi
Tokoh: ibu (30+), kakak (6y), mbak (5y), adik (4y), tetangga (30+)

***

Kakak: "Ibuuu... Adik tuh buka Yutub!" teriak kakak sambil sedikit nyengir
Ibu: "Gak boleh! Ayo tutup!" balas teriak sambil sedikit mendelik
Adik: "Kakak! Itu disuruh kakak, bu...," sambil melirik kakaknya yang masih cengengesan

Adik menjadi korban "lempar tangan" Kakak.

****

Ibu: "Lho adik kok nonton Yutub?" ibu baru tersadar, sedari tadi sibuk mengobrol dengan tetangga
Adik: "Udah... Udah gak!" sambil cengengesan, buru-buru menutup Youtube, ganti layar Galeri
Tetangga: sambil berbisik, "Itu aku denger tadi si Mbak bilang ke Adik, katanya gak mau main lagi kalau ga nonton yutub."

Lagi-lagi Adik menjadi korban "lempar tangan" yang lebih tua darinya.

*****

Nasib adik jadi korban konspirasi kakak-kakaknya. Settingnya di masa ini tidak jauh-jauh ya dari gawai.

Sekian.


Edit dengan Canva
Sumber: Pribadi

Ini Dia Alasan Pentingnya Kenalkan Ragam Profesi pada Si Kecil

Gambar 1. Figur ragam profesi (pixabay.com)
Tahukah Anda apa yang dimaksud dengan profesi? Barangkali dengan mudahnya, kita akan menjawab dengan “pekerjaan”. Namun, sesungguhnya berprofesi bukan hanya sekedar melakukan pekerjaan. Menurut kbbi.web.id (retrieved 31/07/2018), profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan dan sebagainya) tertentu. Artinya, profesi adalah pekerjaan yang tidak diperoleh secara instan. Dan idealnya, seseorang harus memutuskan satu pilihan profesi yang diinginkan sebelum menempuh pendidikan keahlian khusus (baik formal atau nonformal).

Tips Mendidik Anak di Era Digital

Sumber: www.instagram.com/najiyyatul_ummah
"Nyalakan tombol power, tunggu proses loading.  Setelah masuk windows, klik lambang Windows Explorer.  Ketemu folder videos, lalu mulai memilih video.  Bisa klik dua kali pada tombol _spasi_ atau klik kanan pilih _play."

Yes, itu adalah ilustrasi pembuka saat si krucils, si Sulung - 5 tahun dan si Kedua - 2,5 tahun, berhadapan dengan laptop.  Jangan ditanya kemampuan baca, sama sekali belum bisa!  Si Sulung saja mungkin baru mengerti satu dua huruf saja, huruf ya bukan kalimat, hehe...  Ya, mereka hanya mengamati cara orang dewasa yang mengoperasikannya, kemudian menghafalkannya, sampai akhirnya menirunya.  Prok...prok...prok... itulah kehebatan anak jaman now.  Kehebatan?  Iya, jika menurut orang jaman old (baca: jaman bapak ibunya, embah-embahnya).  Kalau dibandingkan dengan sepantarannya "itu mah biasa wae kaliii" πŸ˜…πŸ˜…

Yes, beginilah gambaran generasi anak-anak balita sekarang.  Ada istilah yang menamakannya Generasi Alpha (Gen A), mereka adalah orang-orang yang lahir sejak tahun 2010, yang sejak kelahirannya sudah bersentuhan dengan teknologi.  Lebih lengkapnya, silahkan cek di laman pencarian ya 😁😁

Bagi generasi seusia krucils saya, gadget itu sudah seperti udara kali ya, terpampang jelas di hadapan mereka setiap saat (kecuali saat-saat tertentu ketika diculik oleh saya atau bapaknya, dengan atau tanpa sengaja).  Melihat anak-anak ini tidak gemetar kepleset touch screen saja sudah merupakan bukti paling otentik generasi ini lihai berdigital.  Bayangkan hape ibunya pertama kali, boro-boro layarnya lebar, hanya selebar satu sentimeter  mungkin.  Hanya memuat tulisan satu garis yang cara membacanya bergeser ke kiri, semacam running text di depan kantor atau sekolahan πŸ˜‚.  Pertama kali memegang hape pun saat masuk kuliah (18 tahun), dikasih saudara pula, demi menjaga komunikasi yang lancar dan hemat dengan orangtua 😍😍.  Jadi, dalam kurun waktu 15 tahun perubahan dunia sudah sangat sedemikian hebat, bandingkan saja dengan "32 tahun" yang (terlihat) damai tapi begitu-begitu saja πŸ™ŠπŸ™Š

Jika saya merunut waktu lagi, si Sulung - 5 tahun memang sudah bersentuhan dengan aneka teknologi sedari lahir (aneka, sudah macam jajanan ya πŸ˜›).  Ada laptop, hape, tablet.  Semua terjadi apa adanya, karena benda-benda itu memang menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari orangtuanya.  Jika kemudian kami (orangtua) mulai melakukan pengaturan, adalah ketika mulai menyadari ternyata perlu pengendalian.  Maklum, orangtua baru semacam kami pasti metode paling gampang yang dipilih adalah trial - error, mencoba berbagai hal untuk kemudian ditelaah, lalu disimpulkan baik atau tidak, jika tidak solusinya bagaimana (😲😲).  Bahasa ruwet itu intinya jalani saja, ketemu masalah baru diselesaikan 😎😎

Bayi Sulung sempat berhasil membuat keypad laptop satu persatu lepas.  Ibunya baik hati dan bapaknya santai, jadi sampai lebih dari 10 not huruf lepas, masih santai membiarkan  anaknya mengeksplorasi laptop πŸ˜….  Saya jadi kepikiran tentang permainan yang digunakan bayi untuk melatih sensorik kasar-halus, diantara macam-macam kain, plastik dan karet, mungkin bisa ditambahkan kali ya model keyboard, intermezo 😁😁
Saat mulai bisa duduk dan berjalan mulai tertarik dengan hape dan tablet.  Touch screen??  Yes.  Reaksinya di awal-awal adalah kesal.  Jika saya kepleset layar sentuh di usia setelah menikah (tua πŸ˜†πŸ˜†), si Sulung kira-kira di usia satu tahun.  Di saat ini lah saya dan suami mulai menyadari perlunya pengaturan.  Jadwal tidak saklek, sesuai mood masing-masing pihak, yang pasti jangan berikan gadget ketika mood ibu sedang tidak baik, alhasil emosi makin memuncak ( 😒).  Jika mood ibu baik, si bayi meskipun awalnya kesal tangannya kepleset-pleset di layar sentuh lama-lama bisa juga mengendalikan (catet...).

Awal menginjak usia si Sulung 2 tahun sudah mengenal laman YouTube.  Oya dari awal dia lahir, sama sekali kurang antusias dengan televisi, mau acara yang ditampilkan semenarik apa pun sulit membuat dia fokus menonton.  Lain dengan gadget, langsung membuat dia tertarik.  Ibu mau tidak mau harus meminta bantuan gadget untuk memberi kegiatan si Sulung yang sukanya bergerak kemana-mana.  Kembali ke YouTube, ternyata tidak hanya kaum old yang suka, bayi pun juga, video yang berganti-ganti membuat mata seakan tidak pernah lelah.  Suatu ketika, saya dan suami pernah mencoba eksperimen ke si Sulung, kembali ke metode trial - error ya πŸ˜…  Si Sulung sedang senang-senangnya tantrum.  Sudah waktunya tidur dia masih keukeh melihat YouTube.  Baiklah, kami turuti dengan maksud mau lihat sampe seberapa lama dia bertahan, prediksi kami tidak lama.  Ternyata salah, sampe lewat 1,5 jam rupanya masih kuat, Masya Allah...  Terpaksa kami sudahi dengan paksaan.  Dan jadi pelajaran untuk ke depannya.

Sampai hari ini masih banyak trial-error untuk mendidik krucils soal gadget.  Ditambah ada adiknya, yang jika dibandingkan lebih pesat lagi perkembangannya dengan masa si kakak.  Apakah harus diperhatikan betul-betul soal per-gadget-an ini?  Buat saya, sebagai orangtua jaman sekarang adalah iya.

Kita tidak bisa mengingkari masa ini, karena itu sama saja dengan melawan takdirNya.  Biarkan anak-anak berkembang sesuai dunianya.  Yang perlu dijaga adalah hal-hal yang bersifat esensial agar tetap pada tempatnya.  Hubungan dengan Yang Maha Kuasa tetap terjaga (ibadah), hubungan dengan sesama manusia terjalin dengan baik dan semestinya (persaudaraan, pertemanan).

Gadget bisa jadi sahabat anak yang baik, tergantung bagaimana orangtuanya mengenalkan dan mengajarkannya. Itu poinnya!


*Pernah diterbitkan di status Facebook penulis


Tips Menyapih ASI dengan Cinta, (Seharusnya) juga Butuh Deadline Lho!

Sumber : pixabay.com 
Setiap ibu pasti ingin melakukan yang terbaik untuk anaknya, tak terkecuali dalam hal menyapih ASI untuk si kecil. Pada zaman dulu menyapih identik dengan memaksa si kecil dengan segera menyudahi menyusui langsung pada ibunya, misalnya dengan bratawali atau ramuan lainnya yang membuat bayi tidak suka.
Saat ini beberapa ibu, atas saran orangtua masih melakukan cara itu. Namun, sebagian yang lain sudah menyadari bahwa menyapih dengan paksa akan meninggalkan efek samping, diantaranya efek trauma pada anak. Hingga munculah teori menyapih dengan cinta atau weaning with love (WWL), yaitu mengakhiri kegiatan menyusui antara ibu dengan anak dengan kerelaan. Rela artinya tanpa paksaan.
Melakukan WWL harus dengan kesabaran. Karena, si kecil disapih bukan dengan cara memutus langsung, tetapi dengan melakukan beberapa stimulus. Stimulusnya berupa mengurangi frekuensi menyusui, menerapkan waktu-waktu tertentu untuk menyusui, hingga akhirnya si kecil dengan sendirinya menolak secara langsung. Kemauan si kecil tersebut menandakan bahwa dia sudah bisa menerima dengan ikhlas untuk lepas dari ASI. Tentunya hal tersebut merupakan kebahagiaan bagi ibu dan si kecil, ikatan batin mereka berdua juga tetap terjalin dengan baik.
Cara WWL memang banyak kelebihannya, namun di sisi lain mungkin mempunyai kelemahannya. Yakni, waktu yang tidak pasti kapan si kecil benar-benar berhenti menyusui. Beberapa ibu ada yang mengakui jika anaknya berhasil lepas dari ASI saat menginjak usia 3 tahun bahkan lebih. Padahal beberapa penelitian terbaru ada yang mengatakan jika menyusui si kecil setelah 2 tahun memiliki dampak negatif. Dalam ajaran agama pun, masa 2 tahun menjadi patokan meskipun tidak mutlak (bisa kurang atau lebih).
Oleh karenanya, sebaiknya mungkin cara WWL pun memerlukan deadline atau tenggat waktu terakhir. Namun, tidak harus langsung ditepati seperti deadline dalam urusan pekerjaan, dalam menyapih bisa mundur atau dimajukan tergantung kondisi si kecil. Menentukan deadline sama halnya dengan mengucapkan niat. Niat berarti mempunyai tujuan yang jelas. Sehingga tujuan darideadline adalah agar orangtua semakin fokus melakukannya, dan bersemangat untuk selalu mencari strategi agar menyapih bisa segera berhasil.
Berikut ini adalah beberapa hal yang dilakukan untuk menyapih ASI si kecil dengan sukarela sekaligus bersama deadline.
  • Menyepakati waktu deadline sebelumnya
Takdir memang tidak ada yang tahu, namun manusia berhak untuk berencana. Demikian juga saat menentukan deadline, direncanakan dengan asumsi bahwa kondisi ibu dan si kecil dalam keadaan sehat. Sebaiknya beberapa bulan sebelumnya, ingat bahwa metode yang dipilih adalah WWL atau menyapih dengan kerelaan. Jika deadline sudah disepakati, maka ibu atau ayah bisa segera memulai stimulusnya. Semakin longgar waktunya, stimulus bisa dilakukan dengan lebih rileks.
Misalkan, kesepakatan orangtua adalah 2 tahun si kecil sudah berhenti menyusui. Ibu bisa mulai memberikan stimulus sejak 6 bulan sebelumnya, misalnya dengan menanamkan sugesti bahwa tidak lama lagi si kecil harus berhenti meminta ASI.
  • Ibu dan ayah harus kompak
Setelah menjadi orangtua, ibu dan ayah merupakan satu paket sehingga membuat sebuah keputusan harus berdasarkan kesepakatan keduanya. Termasuk saat menentukan kapan deadline si kecil disapih. Jika ibu memutuskan sendiri, bisa jadi saat menemukan kegundahan di tengah prosesnya, ayah akan cenderung menyalahkan atau lepas tangan begitu saja. Otomatis, rencana akan gagal atau berhenti di tempat. Emosi ibu yang buruk pun akan mempengaruhi mood si kecil.
Dalam proses menyapih peran ayah justru sangat penting. Karena bisa sebagai penghibur dan pengalihan ketika ibu sedang mulai melakukan stimulus, seperti mengurangi waktu menyusui si kecil. Si kecil bisa diajak bermain dengan ayah. Secara tidak langsung, ikatan antara ayah dan si kecil pun semakin erat.
Selain itu, dengan menentukan deadline, ayah juga diharapkan bisa mempersiapkan stamina lebih dan waktu luang menjelang saat terakhir si kecil diberikan ASI.
  • Tahapan stimulus yang dilakukan
Dalam WWL atau menyapih dengan cinta, ibu sebagai orang terdekat bisa melakukan tahapan ini secara berurutan (berdasarkan pengalaman pribadi).
  1. Menanamkan sugesti agar si kecil mau berhenti meminta ASI. Misalnya lewat kata-kata, “nak, kamu bentar lagi dua tahun lho, sudah besar, kalau minum ASI malu lho!”. Meskipun pada awalnya si kecil tidak memahami maksudnya, namun seiring berjalannya waktu pasti akan mengerti. Dengan mengajaknya berbicara, juga mengajarkan si kecil cara untuk berkomunikasi.
  2. Mengurangi frekuensi menyusui. Jika sebelumnya setiap kali si kecil meminta ASI langsung diberikan, kali ini buatlah jeda. Mungkin beberapa menit dulu, yang pasti ajarkan si kecil untuk menunda keinginannya. Semakin terbiasa, bisa mulai diatur hanya jam-jam tertentu. Hingga akhirnya saat yang paling sulit, yaitu saat menjelang tidur malam. Jika si kecil sudah sampai tahapan ini, kemungkinan sudah hampir berhasil.
  • Cara tradisional sebagai alternatif penutupdeadline
Inilah bedanya dengan WWL pada umumnya.Deadline akan membatasi waktu, sehingga seandainya ada kelebihan waktu tidak terlalu lama. Beberapa ibu mengemukakan keluhannya bahwa ingin si kecil berhenti menyusui dengan sendirinya, tetapi sangat lama. Tidak jarang berhenti karena memang umurnya sudah besar, dan karena sudah tahu malu. Memang tidak mengapa, tetapi secara psikologis pasti akan memiliki dampaknya. Diantaranya anak akan kurang mandiri dan ibu masih terjebak dalam aktivitas menyusui yang sebetulnya sudah bukan kebutuhan penting si kecil.
Untuk itu, rasanya warisan orangtua pada masa lalu bisa digunakan, yaitu memakai cara tradisional. Seperti memakai daun-daun pahitan atau cara lain,yang membuat si kecil tidak menyukai ASI lagi. Berdasarkan pengalaman pribadi yang hanya mengoleskan tumbukan daun pepaya pada sekitar ASI, hanya membuat anak-anak merasa tidak nyaman dalam sehari hingga seminggu saja sampai benar-benar lupa dengan aktivitas minum ASI. Stimulus dan sugesti yang diajarkan dalam metode WWL yang maksimal, menjadikan cara tradisional tidak lagi menimbulkan efek trauma pada anak.
Bagaimana apakah Ibu setuju dengan artikel ini? Hidup adalah pilihan, setiap orang berhak memilih jalan mana yang akan membawa kebahagiaan. Artikel ini memberikan sebuah gambaran lain untuk kebahagiaan ibu dan si kecil. Apapun yang dipilih, yakinlah, karena itu kunci utamanya.
Semoga bermanfaat.

Referensi:
https://www.ayahbunda.co.id/kelahiran-tips/tips-menyapih-dengan-cinta (28/11/2017)
https://hellosehat.com/parenting/menyusui/menyusui-lebih-dari-2-tahun/ (28/11/2017)

Kunci Sukses Menyapih ASI Si Kecil

Sumber: pixabay.com
Bagi seorang ibu mungkin menyapih ASI dari si kecil merupakan perkara yang sama beratnya seperti mempersiapkan kelahirannya.  Seringkali para orangtua merasa bimbang kapan saat yang tepat untuk menyapih, dan dengan cara apa.  Ada pula yang sering gagal dikarenakan faktor tidak tega. 
Tapi tahukah Ibu, bahwa menyapih ASI itu bisa juga berlangsung dengan cepat sekaligus tidak meninggalkan efek trauma kepada si kecil.  Berdasarkan pengalaman pribadi, kunci utamanya adalah keyakinan ibu.  Yakinlah bahwa proses menyapih si kecil adalah yang terbaik untuk proses tumbuh kembangnya, serta mendatangkan banyak hal yang positif.
Untuk memperkuat keyakinan tentang menyapih ASI bagi si kecil, Ibu bisa memperoleh anjuran-anjurannya melalui  ajaran agama yang dianut.  Selain itu, bisa juga dari referensi kesehatan yang kini banyak dipublikasikan media.
Jika dalam ajaran Islam, patokan yang digunakan untuk menyapih adalah saat si kecil berusia dua tahun atau 24 bulan.  Ada pula ayat yang menyatakan angka 30 bulan sebagai waktu akumulasi mengandung dan menyapih.  Jika mengandung 9 bulan,maka waktu  menyapihnya adalah ketika si kecil berumur 21 bulan.  Ya, patokan dua tahun atau 24 bulan ternyata bukan angka yang mutlak, bisa kurang dan mungkin lebih. 
Kondisi fisik dan psikis ibu dan si kecil adalah pertimbangan juga untuk menentukan bilangan waktu yang tepat (masih dalam kisaran 24 bulan,kurang atau lebih).  Jika ibu melihat kondisi fisik si kecil senantiasa stabil, aktif dan ceria,maka itu bisa menjadi patokan awal bahwa menyapih bisa dilakukan.
 Jika ibu merasa sudah kurang nyaman dengan aktivitas menyusui si kecil, misalnya si kecil terlalu aktif bergerak saat menyusui, atau mulai usil dengan menggigit atau main-main, maka ibu pun berhak untuk menyapihnya.  Dalam Islam, dibolehkan menyapih jika ibu sudah merasa susah untuk menyusui si kecil.  Kerelaan kedua belah pihak dan dirundingkan masak-masak sangat perlu dilakukan.
Itulah beberapa hal yang bisa memperkuat keyakinan Ibu untuk menyapih si kecil.  Perlu diputuskan jauh-jauh hari agar keyakinan juga mulai ditata dan tidak goyah.  Ibu yang tidak kuat,akan mudah goyah.  Bukan si kecil atau ayah atau sanak keluarga yang lain yang menentukan keberhasilan proses penyapihan ASI, tapi hati Ibu lah kuncinya.
Semoga bermanfaat.

Referensi:
http://www.caraspot.com/pandangan-islam-soal-menyusui-dan-waktu-menyapih-anak.html
 

Catatan Bintutsaniyah Template by Ipietoon Cute Blog Design