Showing posts with label Motivasi. Show all posts
Showing posts with label Motivasi. Show all posts

Selamat Hari Ibu!

Tanggal 22 Desember merupakan hari peringatan atau perayaan yang dilakukan sebagai bentuk penghargaan terhadap perjuangan seorang ibu dalam keluarga. Sejarah mengatakan bahwa Hari Ibu ditetapkan sebagai hari Nasional sejak tahun 1959 oleh Presiden Soekarno. Setelah sebelumnya diputuskan dalam sebuah Kongres Perempuan Indonesia pada tahun 1928.

Mungkin sejarah tampak tidak begitu penting, namun di masa sekarang dimana segala sesuatu tampak 'abu-abu' sehingga memunculkan banyak keraguan. Informasi tersebut sangat diperlukan. Apalagi ketika saya sudah menjadi seorang ibu. Dimana, saya (dan juga suami) adalah kamus pertama untuk anak-anak. 

Terlebih di masa pandemi ini, perjuangan seorang ibu secara nyata mungkin  menjadi semakin berat. Anak-anak yang harus bersekolah di rumah atau pendapatan keluarga yang semakin terbatas. Belum lagi persoalan lain, seperti aktivitas yang terbatasi, membuat para ibu rentan untuk menjernihkan pikiran. Subhanallah... 

Tapi, Ibu, itu mungkin gambaran rasa ya. Menapaki kenyataano, kita haruslah senantiasa optimis dan berusaha mengedepankan berpikir positif. Mulailah dari bersyukur atas keadaan yang paling sederhana sekalipun, apapun itu. Alhamdulillah 'ala kulli hal, "segala puji bagi Allah dalam setiap keadaan”, mungkin bisa menjadi mantra penguat ibu. 

Sesuai dengan tema pemerintah tentang Hari Ibu tahun ini, yaitu 'Perempuan Berdaya Indonesia Maju', yaitu:

Untuk menjadi berdaya itu tidak hanya bisa diraih dengan materi saja. Buka pikiran seluas-luasnya, mohon petunjuk-Nya untuk bisa menyaring mana hal-hal yang baik saja. Ikuti ritmenya, maka terbitlah sebuah jalan untuk menghasilkan sesuatu. InsyaAllah. 


Selamat Hari Ibu, untuk para ibu (& calon ibu)  Indonesia. 

Stay safe, stay healthy, always positive mind for you all ❤

Happy mom, happy family, InsyaAllah 😇



Khotbah Terakhir

Source: pixabay.com
 
New Normal. Adaptasi. Jaga jarak. Kata-kata ini mungkin menjadi familiar akhir-akhir ini. Namun, siapa sangka sudah sejak sekian lama aktivitas itu ada. Hanya saja muncul tanpa disadari dan tanpa penamaan.

Suatu siang di ruang duduk belakang, aku sedang ‘entah ngapain’ duduk di kursi. Sementara jarak beberapa kursi ada beliau. Duduk santai bersandar, kedua kaki diangkat menekuk lututnya hingga seakan sejajar dengan bahunya. Dengan kacamata, beliau menekuri satu bendel kertas ukuran A5 dengan serius. Tak berapa lama. 
 
“Mbak, tulisan kayak kiye (mengeja beberapa huruf) macane kaya kiye (melafalkan satu kata dalam bahasa Inggris), bener ora?” tanya beliau. 
“Nggih, leres. Badhe ngge napa sih?” tanyaku. 
“Lha kan ngesuk arep khotbah raya ya, nah…nah…nek kiye (mengeja kata lagi) bener mbok?” kata beliau. 
 
Aku tahu terkadang beliau memang serius bertanya, tapi terkadang pula beliau hanya sekedar membuka obrolan sambil sesekali bercanda. Tapi, soal mempelajari bahan saat beliau hendak berbicara didepan umum, entah itu khotbah Jumat, khotbah Hari Raya atau ceramah rutin, itu sudah pasti dilakukan. Meski aktivitas pidato tersebut sudah menjadi rutinitas layaknya ‘makanan pokok’ selama bertahun-tahun. 
Itu menjadi pemandanganku sehari-hari. Beliau dan bacaan. Dan siang itu obrolan kami cukup mengasyikkan. 

Namun, memang segala hal yang ada di dunia ini tidak ada yang abadi. Dan hadirnya perubahan tidak selalu bisa diprediksi kapan dan berupa apa. Demikian pula yang terjadi keesokan harinya. 

Pagi itu aku sudah berangkat ke masjid raya. Mendapat tempat duduk yang nyaman, duduk takzim sambil bertakbir. Tak berapa lama, kulihat sosok beliau berjalan. Biasa, dengan koko panjang berwarna terang dan mengenakan sarung. Tampak pula sajadah yang terlipat rapi memanjang tersampir di bahunya. Kuyakin beliau juga harum, karena minyak wangi sama wajibnya dengan ibadah. 
Sekitar tiga meter sebelum beliau sampai di pojokan jalan, hanya 20 meter dari masjid, tiba-tiba terdengar suara dari dalam ruangan. Lewat pengeras suara, berbunyi penanda bahwa acara akan segera dimulai. Tapi, beliau belum sampai di lokasi, bagaimana bisa penanda terlebih dahulu? 
 
Bukan hanya aku yang bingung. Kudengar sekeliling pun mulai berbisik-bisik merasa aneh. Semua tahu beliau lah penceramahnya. Hatiku terkesiap, terlihat beliau memutar langkah. Beliau berbalik pulang. Aduh, ini buruk! 
Ya, selanjutnya acara raya hari itu berlangsung tanpa ada beliau. Sisa pelaksanaan ibadah raya kulakukan dengan hati tidak nyaman. Kuharap Tuhan memaafkanku. Setelah selesai, dengan langkah cepat, aku langsung berjalan pulang. Penasaran, bagaimana keadaan beliau. 

Rumah tampak hening, kubuka pintu depan. Tak perlu butuh waktu lama untuk mencari beliau. Beliau ada di kursi ruang tamu, di kursi favoritnya, posisi pojok. Lupa pastinya, kurasa beliau sedang membaca buku. Aku datang. Beliau hanya mengangkat matanya, mungkin sejenak tanda menyatakan selamat datang. Sekilas kulihat, matanya sedikit merah. Apa iya? Entah, tapi bukan sesuatu yang baik, raut wajahnya menyatakan itu. 

Hari itu, Hari Raya, tapi seisi rumah tidak terlalu bersuka-cita. Meski simpati khalayak cukup berdatangan. Meski hidangan segala rupa ala kadarnya sudah tersedia. Kebahagiaan usai kewajiban ‘tidak sarapan’ selama 1 bulan pun seakan tidak membuat perut meronta-ronta terus minta diisi. 

Hari itu, Hari Raya, yang pasti itulah kali terakhir langkahnya untuk berkhotbah. Beliau menutup diri untuk urusan satu itu. Apa yang sudah dipelajari beliau hari sebelumnya pada akhirnya tidak pernah sampai kepada siapapun. 
 
Hari itu adalah awal new-normal untuk kehidupan keluarga kami. 
 
Beliau tentu yang paling banyak mengalami perubahan. Sebab buatku mungkin belum seberapa, hanya soal sekeliling tidak lagi ramai, dan ada beberapa aturan baru yang harus dilakukan saat berinteraksi dengan orang tertentu. Tidak ada ujaran kebencian satu kalipun yang beliau ajarkan. Hanya menjaga jarak. Ya, menjaga jarak. Butuh waktu yang tidak singkat untuk bisa ber-adaptasi. Butuh beberapa Hari Raya untuk memulihkan luka, dan menjadi biasa saja.

Beberapa tahun kemudian.
Suatu hari ketika semua sudah terasa normal, kuberanikan bertanya pada beliau tentang kisah lama itu. Aku yang sungguh pelupa (hanya ingat peristiwa tapi tidak soal tanggal) masih penasaran dengan ‘kapan’ tepatnya kejadian itu bertanya pada beliau. 
 
“Kapan nggih?” tanyaku. 
“Lah…mbuh…kelalen.” jawab beliau. 
 
Sesimpel itu, dan dengan mimik yang biasa saja. 
Ah, memang sulit mengorek cerita soal rasa-rasa dari beliau, kali ini pun aku gagal. Apapun itu, semoga beliau selalu kuat dan baik-baik saja. 
 
Terima kasih untuk tidak pernah mengajariku, anak(anak)nya untuk membenci siapapun. Meski rasa itu sempat tumbuh itu tidak lebih dari sebuah proses pendewasaan yang manusiawi. Merasa bahwa sakit orangtua adalah sakit anaknya. Merasa ikut menerima berbagai ketidak-adilan. Satu keluarga satu rasa.
Terima kasih untuk selalu mendoakanku (kami) sehingga dalam proses kehidupanku (kami), selalu terjaga, bisa memudarkan kembali benci-dendam-marah-sakit hati itu, hingga berakhir pada keyakinan bahwa segalanya adalah skenario-Nya dan itu selalu yang terbaik serta membawa kebaikan. InsyaAllah... 

Mudah-mudahan sekelumit kisah ini bisa membawa manfaat, bukan mudarat (na'udzubillah... Astaghfirullah...) 
Semoga pandemi lekas berakhir, aamiin...
Dan, akhir kata, Wallahu 'alam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.
 


Catatan akhir kisah:
Qadarullah, Raya (Idul Fitri 1 Syawal 1441 H) tahun ini terjadi pandemi. Seluruh masyarakat dihimbau untuk merayakan ibadah Raya di rumah masing-masing demi keselamatan diri dan keluarganya. Sehingga apa yang terjadi? Setiap rumah, setiap kepala rumah tangga, setiap individu di dalam rumah yang pemahaman agamanya terbaik, berkesempatan menjadi imam salat Raya sekaligus membawakan khotbah. Masya Allah! Sungguh siapa yang menyangka hal demikian akan terjadi. Namun, itulah skenario-Nya.
Hari ini mungkin kesan menakjubkan itu sudah semakin memudar, berganti dengan rutinitas yang semakin tidak jelas, kapan pandemi berakhir. Namun, ingat kembali untuk bersyukur dengan kejadian Raya kemarin.  Bagi-Nya tidak ada yang tidak mungkin. Segala yang terlihat buruk dimata manusia, sesungguhnya Allah menyelipkan peristiwa-peristiwa yang memberikan kebaikan diantaranya. Jadi, tetap berprasangka baik kepada-Nya. 
Inilah salah satu hikmah pandemi yang sebenarnya bisa dirasakan.

Bagi aku (beliau), hikmah pandemi yang khusus adalah beliau bisa melakukan salat Raya di (dekat) rumah lagi. Tidak harus pergi jauh, meskipun semakin jauh nilai kebaikan karena jarak juga InsyaAllah dijanjikan-Nya bertambah, tapi alasan dibaliknya yang membuat sedih. 
Kali itu, tentu juga melakukan Khotbah Raya kembali. Yang seterusnya membuat beliau mau menerima kembali tawaran Khotbah Jumat di sebuah masjid. Alhamdulillah.
Episode Khotbah Terakhir sudah menjadi bersambung dengan latar cerita yang baru.
Tabik!


Cara Mudah Lewati Pandemi

Nia Ramadhani (Source: Instagram Ramadhaniabakrie)

Nia Ramadhani mengatakan, “Sejak kecil saya diajarkan oleh ayah saya untuk tidak selalu ‘melihat keatas’, tetapi ‘melihat apa yang ada dibawah’ kita.  Karena jika selalu melihat yang lebih dari kita, sampai kapanpun tidak akan pernah menemukan kepuasan.  Sementara, jika sebaliknya, yang ada kita akan mudah bersyukur dan bahagia.”

Cara Efektif Agar Anak Semangat Sekolah


“Bu, aku besok gak mau sekolah!”kata si Mas.
“Lho, kenapa, Mas?” ibu bertanya.
“Pokoknya aku gak mau, males!”si Mas menjawab lantas mengerucutkan bibirnya, tanda ngambek.
Usut punya usut, ternyata si Mas merasa belum bisa membaca, sementara teman-temannya banyak yang sudah bisa. Padahal, orangtuanya tidak pernah memaksanya untuk segera bisa membaca lho. 
Ya, itu adalah gambaran yang dialami penulis bersama buah hatinya.  Apakah Ayah dan Ibu juga punya pengalaman serupa?  Mungkin tulisan ini bisa bermanfaat untuk menyingkapinya. 


Latar Belakang
Tidak bisa dipungkiri, sekolah saat ini dan zaman dahulu sudah jauh berbeda.  Perkembangan teknologi dan faktor-faktor lain membuat segala sesuatunya berjalan serba cepat dan tentu saja canggih.  Demikian pula tuntutan anak bersekolah.  Jika saat penulis kecil (generasi 80-an), pertama kali masuk sekolah adalah taman kanak-kanak usia 5 tahun.  Sementara saat ini, sudah ada istilah PAUD atau Pendidikan Anak Usia Dini dengan rata-rata usia muridnya kurang dari 5 tahun.  Meskipun (sebaiknya) kurikulum untuk anak usia dini berbentuk permainan.  Namun, itu sudah bagian dari alasan yang logis mengapa sekolah yang sebenarnya (sekolah dasar) mengharuskan anak-anak untuk segera bisa menguasai calistung (baca tulis hitung).

Jadi, jangan heran jika sekolah bisa jadi momok menakutkan.  Padahal sebaiknya sekolah adalah tempat terbaik, selain di rumah, untuk anak belajar segala hal.  Seperti belajar bersosialisasi, belajar ilmu pengetahuan, belajar ilmu agama dan membentuk kepribadian yang terarah.  Alangkah banyak manfaatnya.  Maka dari itu, sekolah sangat penting untuk anak-anak.

Lantas bagaimana jika anak-anak terlihat enggan untuk berangkat sekolah, seperti pengalaman penulis di atas?

Anak Bahagia, Semangat Sekolah
Penulis yakin ada banyak cara untuk mengatasi anak yang sedang tidak bersemangat sekolah.  Ada banyak teori yang mungkin bisa dipilih mana yang cocok dengan karakter anak Anda.  Namun, satu hal yang pasti, carilah dahulu akar permasalahan yang menyebabkan si anak merasa tidak bahagia di sekolah.  Setelah itu, lihat solusi apa yang kira-kira cocok.

Jika masalahnya tidak terkait dengan kekerasan fisik, maka kemungkinan karena kekhawatiran dan prasangka.  Perasaan yang negatif tersebut membuat anak takut untuk bersekolah.  Mungkin hal tersebut yang lebih menjadi alasan buah hati penulis saat enggan bersekolah.  Apalagi si kecil pun termasuk anak yang moody.

Sehingga solusi yang diambil penulis lebih kepada memperbaiki perasaan si kecil agar senantiasa bahagia. Berikut adalah cara-cara yang telah penulis coba lakukan, simak ya!

1.  Gerakan Rabu Ceria

Anak saya berusia 7 tahun dan 4 tahun, masing-masing laki-laki dan perempuan.  Keduanya masih sama-sama senang membeli mainan baru.  Meski hanya mainan senilai 2000 rupiah, tetapi jika diminta setiap hari, wajar jika saya, sebagai ibunya merasa tidak suka.  Sementara saya belum bisa membuat mereka berhenti total untuk belanja mainan.  

Alih-alih menghentikan kebiasaan tersebut dan mengurangi perdebatan dengan mereka, saya putuskan membuat Gerakan Rabu Ceria.  Apakah itu? Pada hari rabu, anak-anak saya berikan kesempatan membeli mainan.  Dan boleh lebih dari 2000 rupiah, saya katakan 10 ribu rupiah.  Kurang atau lebih pada hari itu saya ikhlas.  Perasaan ikhlas membuat saya bahagia, dan otomatis anak-anak pun baagia.  Mereka mendapat mainan baru, sekaligus tidak dimarahi oleh saya.

Mengapa harus hari rabu?  Suatu masa saya pernah membaca sebuah artikel tentang hari rabu yang menyatakan sebagai hari yang berat untuk seorang pekerja.  Namun, googling artikel lagi yang seperti demikian, ternyata tidak ditemukan lagi.  Justru rabu adalah hari yang menyenangkan.  Tapi apapun itu, jadwal sekolah si Tujuh Tahun di hari rabu memang lebih padat dibanding hari lainnya.  Oleh karena itu, InsyaAllah langkah saya tidak salah.  Cara ini cukup membantu membuat semangat anak-anak bersekolah cukup stabil.

2.  Gerakan “Ikuti Cara Bapak”

Sehari-hari bersama saya (ibunya), tentulah hal yang menyenangkan.  Anak-anak merasa aman dan nyaman.  Tetapi jika dilihat sebagai teman bermain, tentulah saya bukan favorit mereka.  Mengapa?  Karena ibu atau wanita adalah makhluk multi tasking.  Saat bermain, bisa jadi yang ada di pikirannya bermacam-macam, ada soal mencuci, memasak, dan lain sebagainya. Lain dengan ayah atau laki-laki, karakternya sebaliknya.  Para ayah akan fokus saat melakukan sesuatu.  Atas dasar itulah, bersama ayah tentunya (seharusnya) adalah hal yang menyenangkan.

Suatu kali, saat bermain di pantai, tiba-tiba si Empat Tahun menjilat kaos bapaknya.  Otomatis saya kaget dan sedikit menyalahkan.  Tetapi, bapaknya santai dan anak-anak pun biasa saja.  Si Tujuh Tahun menjawab, “Kan kata Bapak begitu, Bu, kalau habis kena air laut jilat kaos Bapak biar hilang asinnya.  Kan kaos Bapak bersih.” Saya cuma bisa geleng-geleng kepala sambil tertawa.  Tetapi kalo dipikir-pikir mengatasi masalah juga cara tersebut.  Ada banyak hal lain yang teratasi dengan cara bapak, meskipun tanpa bapak disamping mereka saat itu.  


Cara anak-anak mengikuti cara bapaknya, dinilai lebih asyik.  Seringkali saya mencoba menyarankan sebuah solusi, ternyata mereka lebih memilih cara Bapak.  Dan mereka melakukannya dengan senang hati.  Jika anak-anak sedang mempunyai masalah di sekolah, maka saya sampaikan ke bapaknya agar diberi pengertian tambahan oleh beliau.  Dan tentunya caranya asyik.  Buat anak-anak, terkadang buat saya tetap membuat geleng-geleng kepala, hehe.

Demikian dua cara yang penulis lakukan untuk menyemangati anak-anak yang sedang kurang bersemangat untuk bersekolah.  Sebetulnya masih banyak cara lain yang dilakukan, seperti mengajak bermain di luar rumah, bermain ke taman, atau sekedar berkunjung ke perpustakaan.  Mungkin bisa disampaikan pada kesempatan yang lain.

Jangan putus asa saat si kecil tidak bersemangat sekolah.  Belum tentu sekolahnya yang kurang baik atau anak kita yang kurang pandai.  Karena pada dasarnya semua anak pandai, sesuai bakatnya masing-masing.  Tuhan tidak pernah memberikan hamba-Nya kekurangan tanpa kelebihan.  Tugas orangtua adalah memotivasi.  Tidak perlu menekan mereka terlalu keras untuk mencapai suatu standar.  Kelak pada masanya, mereka bisa menjadi yang terbaik. Satu hal lagi, waktu bergerak maju, cara ini sudah pasti akan berubah seiring perkembangan usia anak-anak. Para orangtua harus terus mengawal dan mendidik anak-anaknya dengan penuh semangat.

Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat, selebihnya wallahu a'lam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.


Cara untuk Bahagia


Sumber: pixabay.com
Siapa yang tidak pernah mengalami kegagalan. Siapa yang tidak pernah mengalami kenyataan berbeda dengan yang diharapkan. Siapapun pasti pernah mengalaminya.

Sedari kecil untuk hal yang sesederhana meminta mainan atau baju tetapi tidak dipenuhi oleh ayah atau ibu.

Suatu kali aku pernah menjadi orang yang menggebu-gebu saat mencari tambahan uang demi meringankan beban orangtua.

Seorang diri menelusup ke berbagai lingkungan. Merasa mendapat secercah harapan ketika seakan mulai ada titik terang, saat menghadap satu dua pimpinan konsultan yang menerima dengan baik; atau saat berjalan bersama seorang pustakawan mencari referensi di kantor pusat, seakan kepastian sudah semakin dekat.

Namun, sesaat kemudian satu persatu harapan itu harus tertutup dan ditutup rapat. Saat itu kecewa sudah kalah oleh rasa bahwa diri ini memang belum atau tidak pantas.

Suatu kali lagi, aku merasa semua pertanda sudah menunjukkan bahwa dia, dia atau dia akan jadi denganku. Saat satu atau dua kali bertemu tanpa sengaja, saat tiba-tiba bertemu dengan nuansa pakaian yang sama, saat satu dua kali muncul bantuan yang sukarela.

Namun, hingga batas waktunya ternyata kisah itu berakhir tanpa terjadi apa-apa. Saat itu kecewa merasa segala tumpah ruah pikiran dan perasaan sia-sia dan merasa bahwa diri ini memang belum atau tidak pantas.

Ya, sepertinya memang seperti itu kehidupan, memiliki harapan, mengulik harapan, hingga akhirnya diberikan keputusan oleh Sang Maha. Sesederhana itu meski terkadang berjalan dalam waktu yang tidak singkat. Sehingga wajar jika seringkali berakhir dengan putus asa dan hilang semangat, jika gagal.

Kuharap kalian tidak sepertiku, jadi saat gagal melompatlah langsung ke satu keadaan ini.

Yakni, ikhlas dan bersyukurlah! 

Ikhlas artinya yakin bahwa Sang Maha menggariskan kegagalan dengan maksud terbaik-Nya, tidak ada siapapun yang lebih tahu dari-Nya. Bersyukur membuat ikhlas lebih mudah, juga mendorongmu untuk lebih maju menemukan cara baru untuk bangkit.

Berandai, jika kembali ke masa kegagalan dulu, maka rasa yang ingin kurubah adalah merasa diri tidak pantas dengan menyandingkan diri dengan sesama manusia. Rasa itu paling besar menyumbangkan rasa benci terhadap semua hal. Kedua adalah memandang pertanda sebagai acuan bahwa harapanku pasti terkabul. Karena pertanda juga perlu dicari kebenarannya.

Akhir kata, Wallahu 'alam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.


Pola Asuh Anak ala Rasulullah

Asuh anak, ilustrasi.
Sumber: pixabay.com
(Ini adalah ringkasan tausiyah yang disampaikan oleh Ustadzah Citra dalam Majlis  Ta'lim Tabligh wa Tadzkir RA Al Washliyah Sindang, Indramayu. Ditulis kembali dengan sedikit referensi tambahan penulis, guna untuk memperjelas.)


Pola asuh tersebut terkait dengan apa yang disebut sunah. Dilansir dari kbbi.web.id (retrieved 15/04/2019), sunah adalah aturan agama Islam yang didasarkan atas segala apa yang dinukilkan dari Nabi Muhammad saw, baik perbuatan, sikap, maupun kebiasaan yang tidak pernah ditinggalkannya. Jadi, pola asuh anak menurut Rasululah adalah segala perbuatan, sikap maupun kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah dalam mengasuh anak-anaknya. Sebagai manusia biasa, ada baiknya kita mengikuti apa yang disunahkan oleh Rasulullah dan menjadikannya tradisi yang harus diikuti. Sebab, dengan melaksanakan sunah ada nilai ibadah didalamnya.

Tradisi sunah ini berbeda dengan tradisi budaya yang dibawa oleh nenek moyang. Tradisi Rasulullah jika ditelusuri InsyaAllah memiliki dasar keilmuan yang pasti. Sementara yang terkait dengan tradisi budaya belum tentu, misalnya larangan anak gadis duduk di depan pintu karena dikhawatirkan kelak jauh jodoh. Tradisi semacam itu jika dirunut riwayatnya, seringkali akan berujung pada "kata orangtua", jika didesak lagi akan muncul kata "pokoknya".
Kembali ke pola asuh anak, menurut sunah Rasulullah ternyata terbagi dalam 3 fase. Fase tersebut dibagi berdasarkan kelipatan 7 tahun usia anak. Yaitu Fase 7 Tahun Pertama, Fase 7 Tahun Kedua, dan Fase 7 Tahun Ketiga. Sehingga bisa dikatakan tanggung jawab penuh orangtua akan berlangsung selama 3 kali kelipatan 7, atau 21 tahun. Sungguh bukan waktu yang singkat ya, Masya Allah!Adapun pengertian sekaligus perbedaan dari masing-masing fase adalah sebagai berikut:


1. Fase 7 Tahun Pertama (0-7 tahun)
Rasulullah menganjurkan mendidik anak dengan kasih sayang. Boleh memberi perintah atau mengajarkan aturan, namun sebatas pengenalan. Tidak ada tuntutan harus dilaksanakan. Seringkali orangtua mungkin kesal saat anaknya tidak menurut seketika, ekspresikan boleh tetapi sebaiknya tanpa emosi(PR banget untuk penulis). 

Ilustrasi fase 7 tahun pertama.
Sumber: Pribadi.
2. Fase 7 Tahun Kedua (7-14 tahun)
Rasulullah menganjurkan mendidik anak dengan prinsip dan kedisiplinan. Tahap ini seorang anak mulai dikenalkan pada
tanggung jawab dan konsekuensi. Salah satu hadis yang menguatkan cara ini adalah 'Perintahkan anak-anak untuk melaksanakan salat ketika ia berumur tujuh tahun, dan pukullah (bila meninggalkannya) ketika ia sudah berusia 10 tahun" (Shahih Lighairi, HR. Abu Dawud at-Tirmidzi).

Ilustrasi fase 7 tahun kedua.
Sumber: Pribadi.
3. fase 7 Tahun Ketiga (14-21 tahun)
Rasulullah menganjurkan mendidik anak dengan prinsip bermusyawarah. Dalam fase ini bujukan atau pukulan dianggap sudah tidak relevan lagi. Anak-anak sudah paham mana salah dan benar, halal dan haram. Segala persoalan apalagi saat anak
melakukan kesalahan, maka proses pemecahannya dengan bermusyawarah, bersama-sama mencari jalan keluar terbaik.

Ilustrasi fase 7 tahun ketiga.
Sumber: Pribadi.
Harapan menerapkan pola pengasuhan anak ala Rasulullah ini adalah untuk membentuk barisan para insan kamil. Dalam ekomarwanto.com (retrieved 15/04/2019). insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata, insan dan  kamil. Secara harfiah, insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna. Terdapat 5 kriteria seorang insan kamil, antara lain sehat jasmani, bahagia rohani, kehidupan sosial baik, mempunyai penghasilan dan keharmonisan dalam rumah tangga.

Beberapa hal lain yang bisa menjadi bahan renungan dalam mendidik anak yang disampaikan dalam tausiyah, antara lain:

1. Mengenai program masuk SD usia 7 tahun, jika dikaitkan dengan pola pengasuhan ala Rasulullah, maka hasilnya adalah sinkron. Usia 7 tahun menjadi usia yang cocok untuk anak mulai diajarkan tentang kedisiplinan dan tanggung jawab. 
Ustadzah mengajak agar kita senantiasa tabayyun saat melihat segala aturan yang ada di sekitar kita. Agar segala sesuatu bisa diambil positifnya. 

Tabayyun adalah mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya. Caranya dengan meneliti dan menyeleksi berita, tidak tergesa-gesa dalam memutuskan masalah baik dalam hal hukum, kebijakan dan sebagainya hingga jelas benar permasalahannya.

2. Pengalaman Ustadzah saat berkunjung ke suatu rumah tahfidz dimana santri yang mondok rata-rata duduk di kelas 4, 5 dan 6. Beliau mengajukan pertanyaan kepada mereka, "sebentar lagi akan Lebaran, siapa yang rindu rumah?". Serentak anak-anak menjawab dengan riuh " Saya!". Namun, beliau melihat ada satu anak yang diam saja, firasat beliau mengatakan aneh. Demi meyakinkan hati beliau, pertanyaannya diulang kembali, "Siapa yang rindu rumah?" Dan, ketika yang lain menjawab sama, anak itu pun tetap sama, tetap diam. 
Akhirnya setelah ada kesempatan, beliau mendekati anak tersebut.

Ustadzah memastikan, "nak, kok tadi kamu tidak ikut menjawab, apa kamu tidak rindu rumah?"
Dengan jujur dan polos, anak itu menjawab, "tidak, saya tidak suka pulang ke rumah," Ustadzah meminta dia melanjutkan, "soalnya kalo di rumah ibu selalu belain adik, selalu adik yang benar, saya salah. Bahkan ketika adik betul-betul salah, saya tetap yang disalahkan."
Saat itu Ustadzah bertanya lagi lebih dalam, "Hanya itu kamu jadi tidak rindu orangtuamu?"

Si anak menggeleng, "Saya juga tidak suka di rumah karena ayah dan ibu selalu tidak berhenti menyuruh saya, mengambilkan minum saya, mengambil remote tv saya, bahkan mengecilkan volume tv pun saya, saya tidak suka pulang ke rumah, Ust."
Menceritakan kembali ternyata juga cukup membuat hati trenyuh dan cukup membuat bahan renungan untuk kita, khususnya penulis.
Demikian Ustadzah mengajak para orangtua untuk benar-benar dalam mendidik anak, 

Akhir kata, Wallahu a'lam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.



Ibu-ibu Majlis Ta'lim Tabligh wa Tadzkir RA Al Washliyah Sindang bersama Ustadzah Citra (berjilbab ungu).
Sumber: Ummi Dzakia


Cara untuk Mengingat Tuhan


Ilustrasi
Sumber: Dokumen pribadi.
Suatu siang di tengah waktu bekerja, aku dan rekan kerja berbincang singkat. Sebelumnya sudah banyak bicara singkat-singkat sih. Bukan perempuan mungkin kalau dalam satu ruang kerja diam-diaman sepanjang hari, kecuali sedang jutek. Sedikit opini saja.

Saat aku sedang fokus menekuri garis-garis AutoCAD di komputer, tiba-tiba rekan kerja memanggil.
"Mbak!"
Sambil menoleh singkat, saya jawab, "Yuhuuu...."
Dengan semangat dan cepat, rekan kerja melontarkan sebuah pertanyaan sekaligus pernyataannya, "Mbak, ternyata kalau sedang haid gak boleh lupa ya sama Allah, sampeyan piye, mbak?"
"Oh iya ta? Baru denger, mbak. Mmm...," Sebetulnya aku masih berpikir untuk menjawab lagi, tetapi rekan kerja lebih cepat menyela lagi. Ah... maklum ya perempuan. Aku perempuan, tapi kalau soal bicara biasa kalah (mengalah).
"Kalo aku lho mesti lupa, mbak, piye yo carane eling?"
Rekan kerja nampak serius, tapi saat itu aku juga tidak tahu jawabannya apa. Sejujurnya bukan karena semata tak tahu caranya, karena sepanjang waktu justru tidak pernah lupa!

Dan setelah sekian tahun berlalu, kali ini saya ingat lagi tentang pertanyaan itu. Dan sepertinya sekarang sudah tahu jawaban pertanyaan rekan kerja, sekaligus jawaban pertanyaan saya sendiri. Tidak lain adalah dengan dan karena rajin berdialog dengan Tuhan, Sang Esa.

Entah mulai kapan, saya tidak tahu pasti. Namun, satu yang pasti setiap manusia mempunyai masa untuk ingin banyak berbicara, mengungkapkan berbagai macam pendapat tentang sesuatu hal, mempunyai keluh kesah. Alangkah idealnya jika bisa diungkapkan kepada orang lain. Alangkah idealnya jika bisa mengungkapkannya kepada seseorang. Namun, setiap manusia mempunyai keterbatasannya masing-masing. Dulu saya menganggap keterbatasan sebagai sesuatu yang mutlak dibenci, tetapi lambat laun justru itu yang bisa membuat saya menemukan arti hidup yang sesungguhnya.

Entah sejak kapan berbicara dalam hati bukan lagi monolog. Setiap kalimat tidak pernah jauh dengan awalan "Ya Allah". Selalu terjadi dialog dengan-Nya untuk hal apapun, meskipun itu hal sepele dalam pandangan umum. Ya, inilah mungkin yang bisa disebut cara. Apakah bisa dilakukan juga oleh orang lain, sila dicoba.

Kau mungkin sedang sendiri di alam dunia, tetapi sejatinya kau tidak pernah benar-benar sendiri. Letakkkan Allah dihatimu, maka InsyaAllah kesepian tdk akan ada, kegalauan tidak akan lama melekat padamu.

Cerita ini bukan untuk menunjukkan tingkatan kedekatan seseorang dengan Tuhan-nya, karena hakNya yang menilai. Tidak ada lain hanya untuk menunjukkan bahwa menempatkan Tuhan di hati dalam setiap tingkah laku kita adalah upaya terbaik untuk selalu mengingat Sang Maha. Mengingat dalam setiap suka atau duka, sepi atau ramai, benci atau cinta, iri atau bahagia, seharusnya Tuhan selalu ada dimanapun. Karena semua rasa bersumber dari Tuhan dan semua kebaikan juga Dia yang mengadakan, itulah yang menjadi akhir dari setiap tingkah laku kita.

Wallahu A'lam Bishawab, dan hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui.

Yakinlah, Jodoh Pasti Datang!

Foto: pixabay.com
Saat itu usia saya 25 tahun, dan saya single.

 

Catatan Bintutsaniyah Template by Ipietoon Cute Blog Design