Showing posts with label Story. Show all posts
Showing posts with label Story. Show all posts

Definisi Muak

Mu·ak menurut KBBI adalah 1) sudah jemu (karena sudah kerap kali makan dan sebagainya): tiap hari diberi makan tempe, -- sudah; 2) merasa jijik sampai hendak muntah: -- aku melihat kotoran manusia di rumah sakit itu; 3) merasa bosan atau jijik mendengar atau melihat: aku -- melihat tingkah lakunya.


Ada kondisi terus menerus yg kasarannya 'enggak asyik' dan diri kita tetiba mengekspresikannya kayak mual aja, pengen hoeks, persis kayak ada di list icon smiley itu.

Setahun belakangan, saya mulai uji coba melepaskan jiwa raga untuk merespon dengan natural terhadap peristiwa yang menyinggung hidup saya.

Dan, pada suatu hari saya menemukan momen Muak tersebut.


Singkat cerita, beberapa hari itu saya ditinggal oleh partner❤️ ke luar kota untuk beberapa minggu. Sudah jalan beberapa hari waktu itu. Partner❤️ jika dinas luar itu gayanya seperti di zaman batu, jadi kami selalu minim komunikasi, boro-boro basa-basi, hal penting saja mungkin dibahas dalam 1 atau 2 kalimat saja.

Ya sudahlah. Sudah biasa sebetulnya, tapi hari itu perpaduannya ternyata sungguh membuat hati enggak jelas.

Padahal anak-anak tidak ada masalah berarti dan ada orang tua yang menemani selama partner❤️ pergi.

Saat itu pulang mengantar anak sekolah dengan sepeda motor. Cuaca mendung bahkan habis hujan. Masuk ke kompleks perumahan disambut oleh jalanan berlubang disana-sini. Sampailah di tikungan terakhir menuju rumah. Eh lha kok tiba-tiba rasa pengen 'hoeks'. Sampai kaget sambil mbatin, "ih apaan nih, kok tiba-tiba kayak pengen muntah, hehe..ada-ada saja", kaget tapi jadi merasa lucu sendiri.

Seperti biasanya sebuah momen, rasa itu hanya berlangsung singkat.


Sampai di rumah sudah biasa saja.

Beberapa jam kemudian, barulah tahu, pemicu rasa muak itu apa. Berkat perfeksionis dari bapak saya, he...

Beliau habis memakai motor saya. Pulang dari pergi beliau bilang, "ini motornya kenapa ya? Kayaknya 'katosen' bannya." Artinya, bannya terlalu keras.

Inget-inget ternyata beberapa hari sebelumnya saya memang pernah isi angin. Dan sejak isi angin itu memang berasa motor menjadi enggak nyaman, apalagi ketika kena jalan yang tidak rata atau halus.


Selepas angin ban dikempeskan sedikit oleh bapak, benarlah motor menjadi nyaman, empuk lagi.

Dan mengingatkan saya tentang momen Muak. Momen sesaat, yang ternyata selain ada alasan mood mungkin, ada juga alasan logisnya. 


Mengalami momen Muak secara sadar saat itu memberi saya pengalaman baru. Bahwa muak itu adalah salah satu jenis rasa yang normal dialami oleh seseorang. Sama dengan rasa sedih atau senang. 

Dan seperti kata KBBI, muak terjadi karena sebuah kejenuhan atau bosan terhadap sesuatu atau kondisi. 


Kamu pernah merasakan momen Muak apa nih? 

TIPS ANTI BAPER (Mau Komen Apa, Monggo Disekecaaken!)

"Mbak, kamu kok beda ya..." (sambil lihat ujung kepala sampai kaki)

"Mbak, 'segeran' ya kamu..."

"Mbak, kayake tambah melebar apa ya..."

"Mbak, pipinya loh...efek pulang kampung ta..."

Dll (versi kalimatnya berbeda, tapi intinya sama, ingin mengatakan saya: Gendut)

Itu komen  para khalayak 

>Baper? Marah? Kesal?

Alhamdulillah enggak

>Harusnya marah loh!

Enggak juga enggak apa-apa, ya...mungkin dulu, sekarang enggak

>Kok bisa? Gimana cara?

Ini dia:

1. Lihat kenyataan diri. Emang komennya enggak salah. Asline ya emang lagi 'seger', lemu dan suka makan.

Konon teori abal-abal sy, ini kayak sign menuju 40s. Beberapa orang disekitar yang saya kenal dan tahu usianya, pernah saya amati ada di masa ini. Soalnya setelah melebar, ketemu lagi, eh sudah kurusan. Wallahua'lam ya...


2. Lihat siapa yang berkomentar. Karena emang ketemunya sesekali, itu pun setelah sekian bulan atau tahun. Maka wajar jika menjadi 'b' aja jika dikomentari perihal fisik atau kabar diri (plus keluarga atau pasangan). 

3. Sebaik-baik prasangka adalah prasangka yang baik. Ini mungkin bisa jadi Reminder, bahwa apapun yang dikeluarkan (statement) orang lain bisa jadi salah, bisa juga sebaliknya. Jika alasan nomer 1 dan 2 sudah tidak relevan. Karakter orang macam-macam. Bahkan diri ini juga mungkin tidak selamanya bijak berkomentar kepada orang lain, barangkali asal ceplos di waktu yang tidak tepat.

Maka, berbaik sangka adalah kuncinya.

Yang dikeluarkan (omongan) orang lain tidak bisa kontrol. Yang bisa dikendalikan hanya diri kita sendiri. Simpulan dari cara saya adalah semakin kenalilah diri secara sadar, sehingga apapun komentar orang lain terhadap diri arahkan kepada kesadaran logika. Perasaan harus diimbangi dengan kesadaran logika.


Tabik.

Salam Bintu Tsaniyah.




Khotbah Terakhir

Source: pixabay.com
 
New Normal. Adaptasi. Jaga jarak. Kata-kata ini mungkin menjadi familiar akhir-akhir ini. Namun, siapa sangka sudah sejak sekian lama aktivitas itu ada. Hanya saja muncul tanpa disadari dan tanpa penamaan.

Suatu siang di ruang duduk belakang, aku sedang ‘entah ngapain’ duduk di kursi. Sementara jarak beberapa kursi ada beliau. Duduk santai bersandar, kedua kaki diangkat menekuk lututnya hingga seakan sejajar dengan bahunya. Dengan kacamata, beliau menekuri satu bendel kertas ukuran A5 dengan serius. Tak berapa lama. 
 
“Mbak, tulisan kayak kiye (mengeja beberapa huruf) macane kaya kiye (melafalkan satu kata dalam bahasa Inggris), bener ora?” tanya beliau. 
“Nggih, leres. Badhe ngge napa sih?” tanyaku. 
“Lha kan ngesuk arep khotbah raya ya, nah…nah…nek kiye (mengeja kata lagi) bener mbok?” kata beliau. 
 
Aku tahu terkadang beliau memang serius bertanya, tapi terkadang pula beliau hanya sekedar membuka obrolan sambil sesekali bercanda. Tapi, soal mempelajari bahan saat beliau hendak berbicara didepan umum, entah itu khotbah Jumat, khotbah Hari Raya atau ceramah rutin, itu sudah pasti dilakukan. Meski aktivitas pidato tersebut sudah menjadi rutinitas layaknya ‘makanan pokok’ selama bertahun-tahun. 
Itu menjadi pemandanganku sehari-hari. Beliau dan bacaan. Dan siang itu obrolan kami cukup mengasyikkan. 

Namun, memang segala hal yang ada di dunia ini tidak ada yang abadi. Dan hadirnya perubahan tidak selalu bisa diprediksi kapan dan berupa apa. Demikian pula yang terjadi keesokan harinya. 

Pagi itu aku sudah berangkat ke masjid raya. Mendapat tempat duduk yang nyaman, duduk takzim sambil bertakbir. Tak berapa lama, kulihat sosok beliau berjalan. Biasa, dengan koko panjang berwarna terang dan mengenakan sarung. Tampak pula sajadah yang terlipat rapi memanjang tersampir di bahunya. Kuyakin beliau juga harum, karena minyak wangi sama wajibnya dengan ibadah. 
Sekitar tiga meter sebelum beliau sampai di pojokan jalan, hanya 20 meter dari masjid, tiba-tiba terdengar suara dari dalam ruangan. Lewat pengeras suara, berbunyi penanda bahwa acara akan segera dimulai. Tapi, beliau belum sampai di lokasi, bagaimana bisa penanda terlebih dahulu? 
 
Bukan hanya aku yang bingung. Kudengar sekeliling pun mulai berbisik-bisik merasa aneh. Semua tahu beliau lah penceramahnya. Hatiku terkesiap, terlihat beliau memutar langkah. Beliau berbalik pulang. Aduh, ini buruk! 
Ya, selanjutnya acara raya hari itu berlangsung tanpa ada beliau. Sisa pelaksanaan ibadah raya kulakukan dengan hati tidak nyaman. Kuharap Tuhan memaafkanku. Setelah selesai, dengan langkah cepat, aku langsung berjalan pulang. Penasaran, bagaimana keadaan beliau. 

Rumah tampak hening, kubuka pintu depan. Tak perlu butuh waktu lama untuk mencari beliau. Beliau ada di kursi ruang tamu, di kursi favoritnya, posisi pojok. Lupa pastinya, kurasa beliau sedang membaca buku. Aku datang. Beliau hanya mengangkat matanya, mungkin sejenak tanda menyatakan selamat datang. Sekilas kulihat, matanya sedikit merah. Apa iya? Entah, tapi bukan sesuatu yang baik, raut wajahnya menyatakan itu. 

Hari itu, Hari Raya, tapi seisi rumah tidak terlalu bersuka-cita. Meski simpati khalayak cukup berdatangan. Meski hidangan segala rupa ala kadarnya sudah tersedia. Kebahagiaan usai kewajiban ‘tidak sarapan’ selama 1 bulan pun seakan tidak membuat perut meronta-ronta terus minta diisi. 

Hari itu, Hari Raya, yang pasti itulah kali terakhir langkahnya untuk berkhotbah. Beliau menutup diri untuk urusan satu itu. Apa yang sudah dipelajari beliau hari sebelumnya pada akhirnya tidak pernah sampai kepada siapapun. 
 
Hari itu adalah awal new-normal untuk kehidupan keluarga kami. 
 
Beliau tentu yang paling banyak mengalami perubahan. Sebab buatku mungkin belum seberapa, hanya soal sekeliling tidak lagi ramai, dan ada beberapa aturan baru yang harus dilakukan saat berinteraksi dengan orang tertentu. Tidak ada ujaran kebencian satu kalipun yang beliau ajarkan. Hanya menjaga jarak. Ya, menjaga jarak. Butuh waktu yang tidak singkat untuk bisa ber-adaptasi. Butuh beberapa Hari Raya untuk memulihkan luka, dan menjadi biasa saja.

Beberapa tahun kemudian.
Suatu hari ketika semua sudah terasa normal, kuberanikan bertanya pada beliau tentang kisah lama itu. Aku yang sungguh pelupa (hanya ingat peristiwa tapi tidak soal tanggal) masih penasaran dengan ‘kapan’ tepatnya kejadian itu bertanya pada beliau. 
 
“Kapan nggih?” tanyaku. 
“Lah…mbuh…kelalen.” jawab beliau. 
 
Sesimpel itu, dan dengan mimik yang biasa saja. 
Ah, memang sulit mengorek cerita soal rasa-rasa dari beliau, kali ini pun aku gagal. Apapun itu, semoga beliau selalu kuat dan baik-baik saja. 
 
Terima kasih untuk tidak pernah mengajariku, anak(anak)nya untuk membenci siapapun. Meski rasa itu sempat tumbuh itu tidak lebih dari sebuah proses pendewasaan yang manusiawi. Merasa bahwa sakit orangtua adalah sakit anaknya. Merasa ikut menerima berbagai ketidak-adilan. Satu keluarga satu rasa.
Terima kasih untuk selalu mendoakanku (kami) sehingga dalam proses kehidupanku (kami), selalu terjaga, bisa memudarkan kembali benci-dendam-marah-sakit hati itu, hingga berakhir pada keyakinan bahwa segalanya adalah skenario-Nya dan itu selalu yang terbaik serta membawa kebaikan. InsyaAllah... 

Mudah-mudahan sekelumit kisah ini bisa membawa manfaat, bukan mudarat (na'udzubillah... Astaghfirullah...) 
Semoga pandemi lekas berakhir, aamiin...
Dan, akhir kata, Wallahu 'alam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.
 


Catatan akhir kisah:
Qadarullah, Raya (Idul Fitri 1 Syawal 1441 H) tahun ini terjadi pandemi. Seluruh masyarakat dihimbau untuk merayakan ibadah Raya di rumah masing-masing demi keselamatan diri dan keluarganya. Sehingga apa yang terjadi? Setiap rumah, setiap kepala rumah tangga, setiap individu di dalam rumah yang pemahaman agamanya terbaik, berkesempatan menjadi imam salat Raya sekaligus membawakan khotbah. Masya Allah! Sungguh siapa yang menyangka hal demikian akan terjadi. Namun, itulah skenario-Nya.
Hari ini mungkin kesan menakjubkan itu sudah semakin memudar, berganti dengan rutinitas yang semakin tidak jelas, kapan pandemi berakhir. Namun, ingat kembali untuk bersyukur dengan kejadian Raya kemarin.  Bagi-Nya tidak ada yang tidak mungkin. Segala yang terlihat buruk dimata manusia, sesungguhnya Allah menyelipkan peristiwa-peristiwa yang memberikan kebaikan diantaranya. Jadi, tetap berprasangka baik kepada-Nya. 
Inilah salah satu hikmah pandemi yang sebenarnya bisa dirasakan.

Bagi aku (beliau), hikmah pandemi yang khusus adalah beliau bisa melakukan salat Raya di (dekat) rumah lagi. Tidak harus pergi jauh, meskipun semakin jauh nilai kebaikan karena jarak juga InsyaAllah dijanjikan-Nya bertambah, tapi alasan dibaliknya yang membuat sedih. 
Kali itu, tentu juga melakukan Khotbah Raya kembali. Yang seterusnya membuat beliau mau menerima kembali tawaran Khotbah Jumat di sebuah masjid. Alhamdulillah.
Episode Khotbah Terakhir sudah menjadi bersambung dengan latar cerita yang baru.
Tabik!


'Kosong', Sebuah Pengalaman Rasa



" Namun, meski hanya sebesar nol koma nol nol nol satu persen, hingga jauh tersamarkan, sesungguhnya masalah (atau hal yang mengganjal) itu ada. Ketidakpastian akan sesuatu hal itu ada. "

Saat itu, di bangku tunggu depan loket pengambilan obat, aku merasa 'sendiri'. Tidak ada yang dikenal. Meski banyak orang berlalu lalang, namun hanya mampir sebentat di depan mata. Banyak orang berbicara, tapi dengan urusannya masing-masing. Jadi, meski dalam keramaian aku hanya merasa hening, atau lebih tepatnya 'kosong'. 
Biasa digelayuti anak-anak, saatnitu tidak, ya, seharusnya mereka sedang aman di rumah. Suami, lebih-lebih nyaman, ada 'staf khusus' untuk keperluannya. Untuk keperluannya, aku  berada. 
Kulihat jam di hape. Hape yang biasanya penuh dengan daya tarik, mungkin karena hape suami atau entah kenapa, tidak antusias. 
Setengah jam lagi menuju maghrib. Dan ada kewajiban yang belum kutunaikan. 
Lain dari hari biasanya, kali ini, aku merasa, antara melakukannya tepat waktu atau memundurkannya bersamaan dengan maghrib adalah sesuatu yang santai. Tidak ada rasa bersalah, tidak ada tergesa-gesa. Barangkali berada di tengah-tengah orang yang tidak dikenal, yang tidak tahu apakah aku sudah menunaikan kewajibanku atau belum, sangat mendukung perasaan itu. 
Satu detik, dua detik, masih hening. Meski demikian, samar ada rasa seperti "ini salah", dalam hati aku terus berkutat dengan, "tetap duduk atau beranjak". Banyak kenapa yang harus kutanyakan padaku sendiri. Memaksa. Harus kupaksa sepertinya, ini salah, dan apa? Belum sepenuhnya terjawab tapi sudah cukup untuk membuatku berdiri, dan menuju loket, " Mbak, saya tinggal sebentar ya, mau ashar dulu."


Cukup ke gedung sebelah saja. Dekat. Sepi. Bagus, sedikit malu. Entah kenapa malu, mungkin karena hampir terlambat. Segera kutunaikan kewajibanku. Perdana berkunjung ke rumah-Nya, sejak pandemi hadir. Baru kulihat tanda silang-silang yang biasanya cuma kudengar dari ilustrasi dan cerita orang. Seketika aku haru. Kenapa? Mungkin, pertama, karena 'lunas'. Kedua, diberi pengalaman baru tentang rasa 'kosong'. 
Simpulannya, secara kasat mata, segala urusan mungkin sudah terencana secara sempurna, logic dan membuat percaya diri. Tanpa perlu mengingat-Nya, semua bisa berjalan. Namun, meski hanya sebesar nol koma nol nol nol satu persen, hingga jauh tersamarkan, sesungguhnya masalah (atau hal yang mengganjal) itu ada. Ketidakpastian akan sesuatu hal itu ada. Dan hanya Dia yang mampu menyelesaikannya, membolak-balik setiap keadaan. 
Dan, setelah kembali ke ruang tunggu. Terlihat suasana ruangan tetap sama, tapi pikiran jauh lebih tenang. Dan lebih terarah. Sudah siap melaksanakan rencana awal. Selesai urusan, sampai di kamar inap, qodarullah, Dia sudah membuat skenario baru, yang jujur saja, semula itu cuma harapan. Harapan yang jika terwujud seharusnya memudahkan segalanya. Namun, sebelumnya sulit. 
Ya, ada yang sudah bisa "buang angin" dan itu artinya bisa kembali bersama ke rumah. Tidak perlu proses lebih panjang lagi. Alhamdulillah. 

(Reminder for July 14 2020, karena si "mata ikan") 

Kenalkan Kebiasaan Membaca pada Anak (Bagian 1)

Ibu dan Perpustakaan Az-Ziyadah.
Saya pernah mendapat pertanyaan seputar aktivitas membaca, yaitu (1) bagaimana caranya agar bisa suka membaca? Pertanyaan berikutnya, (2) bagaimana mengajarkan agar anak-anak suka membaca?


Jawaban Pertama,
Di usia saya yang sudah kepala tiga (ketahuan angkatan berapa ya?πŸ˜… ) membaca sudah merupakan bagian dari keseharian. Meski sudah mulai berbagi dengan membaca lewat gadget. Namun, membaca tulisan di kertas atau buku, setiap hari selalu dilakukan, meski hanya satu atau dua kalimat. 

Jadi, darimana kebiasaan membaca itu bermula? Tentunya dari kecil ya. Diawali dari komitmen ibu saya untuk membuat anak-anaknya bisa menulis dan membaca. Beliau rajin membuat kami berkutat dengan pensil dan kertas. Tapi, waktu itu tidak ada hasil lain selain bisa membaca dan menulis ya. Lain sekarang, jika dibimbing kreativitasnya mungkin bisa menjadi suatu karya yang lebih bernilai.

Back to my story, apakah lantas jadi suka membaca dari pensil dan kertas saja? Jawabnya, tidak. Seperti anak-anak pada umumnya, yang suka dengan hal-hal baru. Atau anak laki-laki yang suka mobil-mobilan, dan anak-anak perempuan yang suka boneka. Maka, untuk suka membaca, bapak dan ibu saya sering mendatangkan majalah atau buku baru untuk anak-anaknya. Biaya hidup keluarga yang terbatas tentu membuat mereka membuat trik-trik. Kami (saya dan saudari-saudari), saat itu tentu tidak berpikir sedalam itu. Hanya tahu bahwa kadang ada bacaan baru, kadang tidak.

Kini, membayangkan bapak dan ibu menyanggupi permintaan kami membeli majalah Bobo setiap kamis rasanya menyesakkan dada. Berapa rupiah anggaran belanja yang harus dialokasikan untuk membelinya, sedih...😭
Nah, jadi dalam keterbatasan, bapak dan ibu tetap memenuhi kebutuhan kami akan kebutuhan membaca. Bahkan ketika kami belum tahu apa pentingnya suka membaca buku.

Kembali kepada trik dan strategi, apa yang bapak dan ibu saya lakukan? Selain sesekali membeli sendiri, bapak sering membawa pulang buku bacaan dari perpustakaan sekolah. Memang maksudnya pinjam, tapi pinjamnya kadang sudah melebihi batas. Apakah tidak ada yang mencari? Sayangnya tidak, sepengetahuan saya seperti itu. Apakah tidak takut dosa, kan seperti mencuri? Tentu saja ada. Sering kami bertanya paa bapak, "bukunya tidak dikembalikan?". Kata bapak, kapan-kapan saja toh disana pun tidak ada yang membaca. Jadi, apakah kami jadi bagian dari penyelamat buku? Yang pasti pada suatu waktu, semua buku itu dikumpulkan dan tidak ada di rumah lagi (diloakkan?).

Cara yang lain dilakukan oleh ibu saya. Tidak, beliau tidak mengambil buku di perpustakaan sekolah. Beliau mendekatkan kami dengan adiknya, alias paman saya alias pak lik. Entah awal mulanya bagaimana, suatu hari pak lik datang lalu menaruh beberapa buku bacaan di hadapan saya dan saudari saya. Langsung tertarik? Saya, tidakπŸ˜†. Kakak saya adalah pemicunya. Buat anak kedua, kakak adalah panutan. Setelah kakak saya membaca, dia akan berkomentar. Dan komentarnya selalu membuat saya ingin ikut membacanya.

Jika dari bapak, buku yang didapat adalah buku karangan penulis dalam negeri. Dari pak lik, untuk pertama kalinya kami mendapat buku karangan luar negeri. Dan pilihan pak lik selalu cocok untuk kami. Buku petualangan dan keseharian karya Enid Blyton adalah buku-buku pertama yang dihadirkan. Buku favorit selanjutnya adalah karya S. Mara Gd. yang bercerita tentang misteri. 

Darimana kah pak lik mendapatkan buku-buku itu? Kalian harus tahu, karena ini sangat epik. Jadi, pak lik mendapatkan buku itu dari sebuah perpustakaan. Perpustakaan itu katanya sepi dan dijaga oleh seorang perempuan yang menggunakan kaca mata tebal. Bagaimana cara pak lik? Biar jadi rahasia saja ya. Yang pasti beberapa dari buku tersebut hingga sekarang masih disimpan. 

Kembali, apakah tidak takut dosa? Saking tidak nyamannya, sampai ketika pak lik datang dengan buku-buku yang bener-bener baru kami harus bertanya berkali-kali "ini beli atau bukan, Lik". Terakhir dengan meyakinkan katanya beli, Alhamdulillah.

Jadi pada suatu tahun lupa tepatnya, pak lik memberi saya dan dua saudari saya kado saat kami masing-masing ulang tahun. Kado tersebut berupa buku, dan berjumlah lebih dari satu. Di bulan Mei, kakak saya yang sudah beranjak remaja mendapatkan 10 atau lebih buku karya RL. Stine. Waktu itu sedang hits ya. Di bulan Juli, giliran saya, dengan jumlah yang hampir sama, pak lik datang membawa komik Jepang bertajuk Serial Cantik dan Serial Misteri. Di bulan Sepetember, giliran adik saya mendapatkan serial dongeng karya Enid Blyton, jumlahnya di atas 5. Tahun itu sepertinya menjadi tahun yang membahagiakan sekali, Alhamdulillah. Entah kapan akhir masa pak lik menyuplai kami buku-buku, mungkin saat kami sudah mulai sibuk dengan sekolah. (Terima kasih banyak, Lik πŸ™πŸ˜).

Salah satu kado untuk adik saya.
Mungkin buku-buku dari pak lik lah yang akhirnya memberi pengetahuan kepada kami bahwa ada jenis buku selain majalah Bobo dan buku perpustakaan yang bisa kami cari di toko buku. Selain dari tayangan televisi yang ada saat itu. Mulailah saya dan kakak suka membeli komik Doraemon atau Conan dengan uang tabungan sendiri. Sesekali saja, namun bisa menjadi lebih dari dua puluh buku, dimulai dari harga komik 4 ribuan rupiah (kalau tidak salah).

Banyaknya buku dan banyaknya anak-anak seumuran di sekitar kami, mendatangkan sebuah ide dari bapak (atau ibu juga) untuk mendirikan perpustakaan kecil dan sederhana. Sebab raknya pun dibuat hanya dengan kayu reng dan kawat (ide bapak). Perpustakaan itu diberi nama 'Az-Ziyadah' oleh bapak. Maknanya mendalam, kurang lebih adalah 'menambah'. Maksudnya adalah menambah pengetahuan bagi yang meminjam atau membaca buku-buku yang ada di perpustakaan. sekaligus menambah pendapatan, karena ada biaya untuk meminjamnya (sekitar 50 atau 100 rupiah). Meski pada kenyataannya lebih sering kami gratiskan, dengan alasan teman dekat. Semua yang pinjam adalah teman dekat akhirnya tidak ada pendapatan sama sekali ya πŸ˜….

Jejak masa lalu, Perpustakaan Az-Ziyadah
Saya lupa berapa lama perpustakaan itu bertahan, pun semakin bertambah usia dan sibuk sekolah. Dengan sendirinya buku-buku yang berjajar di rak dimasukkan dalam kotak-kotak kardus. Hingga suatu ketika diloakkan. Yang pasti mudah-mudahan dengan perpustakaan tersebut, bisa menebus kesalahan yang dilakukan sebelumnya, ketika meminjam permanen dan semi permanen buku orang lain ya.

Sampai di kesimpulan ya. Jadi, tidaklah instan untuk bisa suka membaca. Butuh usaha yang keras, konsisten, dan niat yang positif.  Agar langkah kita untuk diri sendiri atau apapun yang menjadi tujuan bisa terwujud dengan baik. Ada kendala tidak menjadi halangan untuk berhenti. Ciptakan trik dan strategi karena Sang Maha Baik juga tidak akan berhenti memberikan jalan selama kita mau berusaha.

Oya, proses membaca ada yang disebut pemahaman ya. Entah apa istilahnya. Untuk bisa membaca hingga memahami bacaan juga butuh waktu yang tidak singkat. Maksudnya begini, ada saatnya kita hanya membaca tulisan, tetapi tidak sampai ke pikiran dan hati pun tidak bisa merasakan energinya. Jika demikian, maka yang dilakukan hanya membaca tulisan saja tanpa memahami. Dan pengalaman saya, saya baru bisa men-sinkronkan semuanya saat usia 12 tahun.  Jadi, sebelum usia itu, membaca hanya membaca, namun tidak sampai di hati.

Demikian jawaban saya untuk pertanyaan pertama. Semoga yang baiknya bisa menjadi manfaatnya, yang jeleknya mohon dimaafkan ya.
Wallahu a'lam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.
Untuk jawaban pertanyaan kedua, lanjut di lain waktu ya.

Tabik,

Bintu Tsaniyah





 


Inilah Alasan Untuk Tidak Perduli (yang 'Terlalu Berisik')

Suatu siang di ruang duduk belakang, aku sedang ‘entah ngapain’ duduk di kursi.  Sementara jarak beberapa kursi ada beliau.  Duduk santai bersandar, kedua kaki diangkat menekuk lututnya hingga seakan sejajar dengan bahunya.  Dengan kacamata, beliau menekuri satu bendel kertas ukuran A5 dengan serius.  Tak berapa lama.

“Kiye tulisan kaya kiye (mengeja beberapa huruf), macane kaya kiye (melafalkan satu kata), bener ora?” tanya beliau.
“Nggih, leres. Badhe ngge napa sih?” tanyaku.
“Lha kan ngesuk arep khotbah raya ya, nah…nah…nek kiye (mengeja kata lagi) bener mbok?” kata beliau.


Aku tahu terkadang beliau memang serius bertanya, tapi terkadang pula belau hanya sekedar membuka obrolan sembari bercanda.


Tapi soal mempelajari bahan saat beliau hendak berbicara didepan umum, entah itu khotbah Jumat, khotbah Hari Raya atau ceramah rutin, itu sudah pasti dilakukan. Meski aktivitas pidato tersebut sudah menjadi rutinitas layaknya ‘makanan pokok’ selama bertahun-tahun.


Itu menjadi pemandanganku sehari-hari juga, beliau dan membaca.  Dan siang itu obrolan kami mengasyikkan.


Namun, memang segala hal yang ada di dunia ini tidak ada yang abadi.  Dan hadirnya perubahan tidak selalu bisa diprediksi kapan dan berupa apa.  Demikian pula yang terjadi keesokan harinya.


Pagi itu aku sudah berangkat ke lokasi khotbah.  Mendapat tempat duduk yang nyaman, duduk takzim sambil bertakbir.  Tak berapa lama, kulihat sosok beliau berjalan.  Biasa dengan koko panjang yang warnanya aku lupa dan memakai sarung. Tampak pula sajadah yang terlipat rapi memanjang tersampir di bahunya.  Aku yakin beliau juga harum, karena minyak wangi sama wajibnya dengan ibadah.


Sekitar tiga meter sebelum beliau sampai di pojokan jalan, yang berjarak 10 meter dari lokasi, tiba-tiba terdengar suara dari dalam ruangan.  Lewat pengeras suara berbunyi penanda bahwa acara akan segera dimulai.  Tapi, beliau belum sampai di lokasi, bagaimana bisa penanda terlebih dahulu?
Bukan hanya aku yang bingung.  Kudengar sekeliling pun mulai berbisik-bisik resah.  Hatiku terkesiap, kulihat beliau memutar langkah.  Beliau berbalik pulang.  


Kujalankan sisa pelaksanaan ibadah raya dengan hati tidak nyaman.  Kuharap Tuhan memaafkanku.  Setelah selesai, dengan langkah cepat langsung berjalan pulang.  Penasaran, bagaimana keadaan beliau.


Rumah tampak hening, kubuka pintu depan.  Tak perlu butuh waktu lama untuk mencari beliau.  Beliau ada di kursi ruang tamu, di kursi favoritnya, posisi pojok.  Lupa pastinya, kurasa beliau membaca buku.  Aku datang.  Beliau hanya mengangkat matanya sejenak tanda menyatakan selamat datang. 


Sekilas kulihat, matanya sedikit merah.  Menangis?  Bisa jadi.  Tanda apa? Entah, tapi bukan sesuatu yang baik.

Hari itu, Hari Raya, tapi seisi rumah tidak terlalu bersuka-cita.  Meski simpati khalayak cukup berdatangan. Meski hidangan segala rupa ala kadarnya juga tersedia.  Kebahagiaan usai kewajiban ‘tidak sarapan’ selama 1 bulan pun seakan tidak membuat perut meronta-ronta terus minta diisi. 


Hari itu, Hari Raya, yang pasti itulah kali terakhir langkahnya untuk berkhotbah.    


Hari ini mungkin ingatan (yang boleh kusebut) luka itu sudah memudar.  Hubungan beliau dengan satu dua orang yang terlibat pun sudah cukup baik (Aamiin).  Tapi, sepertinya bekasnya masih terasa.
Aku yang pelupa masih penasaran dengan ‘kapan’ tepatnya kejadian itu bertanya pada beliau.
“Kapan?”
“Lah…mbuh…kelalen.” jawab beliau.


Sesimpel itu, dan dengan mimik yang biasa saja. Ku tahu, itu cara beliau bertahan dari segala permadalahan. Memendam sendiri dalam sedikit kata-kata.




Siapapun bebas membuat kesimpulan atas hal apapun yang pernah dialami.  Untuk kisah ini simpulan saya adalah jangan pernah melihat seseorang dari kulit luanya.  Itu peribahasa umum ya, tapi seratus persen benar.  Karena senyum di wajah, bisa jadi seringai di hati.  Sebaik-baik fisik dan penampilan, tidak menjamin bahwa orang itu pasti baik hati dan perilakunya.   Namun, kuasa Tuhan, lisan yang pintar berdalih selalu tidak mampu menampung perilakunya yang sebenarnya.

Kejadian hari itu membuat saya paham untuk tidak perlu selalu mengikuti arus, meskipun tampaknya banyak orang berada disana.  Keyakinan yang paling benar hanya milik Sang Maha.  Manusia terbaik hanya Yang Terpilih, Sang Baginda SAW yang Maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Maka rasanya kurang pas jika sampai menganggap seseorang suci sepenuhnya.  Pun menganggap yang lain kotor seterusnya. Sehingga tidak pas rasanya berisik atas hal demikian.

Wallahu a'lam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.


Ketika Si Kedua Beraksi dengan Mobil Remot

Foto: Dokumen Pribadi.
"Bu, diem aja ya, diem-diem aja!" si Kedua tegas menyuruhku patuh padanya.

Saat itu aku sedang fokus menonton tivi. Dan aku sudah bisa membaca maksudnya. Dia mau meletakkan mobil remot kakaknya di atas kepala berambutku (hallah), lalu dia akan menjalankan remotnya.

"I see that, Mbak," yakinku dalam hati.

Sayangnya, aku tidak kepikiran untuk memprediksi kelanjutannya, dan justru itu kesalahannya.

"Bu, pura-puranya ibu habis keramas ya, ibu diem aja!" kata si Kedua betul meletakkan mobilnya tepat di atas kepalaku.

Dia pasti mau berpura-pura menjadikan mobil itu sebagai pengering rambut seperti di salon tempo hari.

Ku ehemin saja.

Beberapa detik kemudian, werrrrrr... mobil remote mulai dijalankan. Satu dua detik perasaanku masih santai. Tetapi, detik berikutnya, hatiku tersentak seiring dengan sakit di kepalaku. Ya, rambutku mulai melilit kuat memutari roda mobil remot itu.

Sejurus teriakanku mengaduh menguasai pikiranku, aku masih sadar jika mobil remot masih dijalankan si Kedua.

"Aduh, sakit! Stop! Stop, Mbak!" kataku meninggi pada si Kedua.

Akhirnya si Kedua ngeh, mobil remot mulai senyap, seiring stabilnya rasa di kepalaku. Tinggal berpikir bagaimana caranya melepaskan lilitan itu. Dan, akhirnya giliran si Sulung berperan. Si Sulung yang sejak tadi cuma menonton dan berkali-kali kudengar bertanya "ada apa - ada apa".

" Mas, tolong ambilkan gunting di belakang tempat sampah bufet tuh, cepat!"

"O ya, Bu."

"Ayo cepat gunting nih rambut Ibu, (sambil menunjukkan posisi) ya sini... Sama sini. Udah gunting aja. Semua!"

Krezzz... Selesai. Alhamdulillah. Mobil remot bebas, hanya kali ini di rodanya tampak sebonggol rambut melilit. Cara efektif dan efisien, meskipun efeknya merusak tatanan rambut. Baiklah, pasti nanti tumbuh lagi ya kan?!

"Makasih, Mas, udah membantu Ibu, Mas ternyata sudah hebat ya, bagus!" pujiku pada si Sulung yang merespon cepat dan bekerja sesuai aturan.

Selanjutnya, aku melirik pada adiknya yang sejak mobil remote senyap seakan terlupakan. Dia nampak lesu dan terdiam.

"Mbak, lain kali gak boleh lagi ya naruh mobilnya ke kepala, sakit tau. Sudah, Ibu gak marah. Dan makasih ya, tadi sudah minta maaf, sudah Ibu maafkan, sini peluk!" seketika wajah si Empat Tahun itu ceria, seperti biasa, mood mudah berubah cepat. Lalu dia senyum dan berlari memelukku.

Ya, sebetulnya ada satu momen manis yang sempat "kusingkirkan" dulu. Yaitu, sewaktu si Kedua mengucapkan maaf. Seketika, sesaat setelah pertama kalinya aku mengaduh kesakitan.

"Maaf, bu..." katanya lirih.

Alhamdulillah, si Kedua mulai bisa menempatkan rasa dengan baik.

Dan selanjutnya, aku teringat kalau gunting yang dipakai tadi bernoda saus. Memang selalu ada saatnya ketika hal lain tidak penting, kecuali sebuah respon cepat.

Beruntung sausnya tidak menempel di rambutku!

(Berdasarkan kisah nyata antara ibu, si Kedua 4y2m, dan si Sulung 6y11m)

Foto: Dokumen Pribadi.









Cerita Lewat Sepanci Bubur (Resep Simpel Bubur Nasi Gurih)


"Bu, kayak yang bekas cucian piring ya," komentar sulungku sewaktu disuruh mengaduk nasi yang sedang dimasak menjadi bubur.

Saya tahu yang dia maksudkan adalah sisa-sisa nasi atau makanan yang terkumpul saat proses akhir mencuci piring. Biasanya setelahnya saya masukkan ke dalam kantong kresek, untuk selanjutnya diikat dan dibuang bersama sampah lain ke tempat sampah.

Sesaat kata-kata sulungku membuatku spontan merenung. Pertama, teringat pada minyak bekas menggoreng (minyak jelantah) yang dibudidayakan menjadi sabun. Atau mempunyai manfaat baru sebagai bahan bakar biogas.

Kedua, teringat pada satu cerita dalam serial animasi SpongeBob SquarePants. Ceritanya tentang Pearl (anak Tuan Krab) yang menderita karena semacam jerawat di wajahnya. Usut punya usut, ternyata diakibatkan oleh sabun muka yang dibuat oleh ayah Pearl, yang tak lain adalah dari sisa Krabby Patty. Ya, dari sisa makanan.

Kata bekas cucian piring akhirnya menjadi sebuah ide, bagaimana jika kemudian bisa diolah lagi menjadi sesuatu. Kalau minyak jelantah bisa menjadi sabun, apakah sisa makanan juga bisa? Tidak harus untuk dipakai oleh tubuh jika membayangkan saja jijik dan takut seperti Pearl. Barangkali sekedar untuk bahan mainan anak-anak?

Yah, andaikan bisa, mungkin bisa menambah ketrampilan untuk para tukang sampah atau kalangan yang setara dengannya. Dan mungkin bisa membuat selokan-selokan di depan rumah-rumah bisa se-kinclong air sungai yang jernih. Sungguh menakjubkan!

Aih...sepertinya khayalan saya terlalu berlebihan, efek puasa, yang makan otaknya, perut sih masih kosong, hehe...

Sebagai bonus untuk pembaca yang sabar membaca khayalan saya hingga akhir, simak saja resep Bubur Nasi yang saya recook dari salah satu resep di Cookpad. Meski dikomen miring saat prosesnya, sulungku bilang enak kok setelah mencicipi jadinya. Alhamdulillah ya.

Eits, satu lagi, bubur nasi ini juga salah satu cara untuk mengurangi sampah nasi di rumah lho, so yuk disimak!

BUBUR NASI GURIH



Bahan:

  • 1 piring nasi
  • 1 bungkus santan instan (saya memakai santan bubuk Sasa)
  • 2 lembar daun salam
  • Sejumput garam atau sesuai selera
  • 3 gelas air matang (bisa ditambahkan sesuai kebutuhan)
  • Pelengkap (bisa kerupuk, daun bawang, bawang goreng, abon, atau sesuai selera)

Cara membuat:
1. Campur semua bahan, masak di atas api sedang cenderung kecil.


2. Aduk terus hingga merata, jika diperlukan tambahkan air kembali sedikit demi sedikit.


3. Setelah dirasa tekstur nasi sudah mulai berubah lebih lembut dan air menyusut, artinya nasi telah menjadi bubur. Siap disajikan.

SINKRON


Ilustrasi ibu, ayah dan anak.
Sumber: pixabay.com

Pria : "Hmm... Memang ya ibu betul-betul berpengaruh buat kondisi anak-anaknya."
Wanita : "Iya sih, tapi kamu harus tahu kondisi ibunya juga bergantung sama sikap,a ayahnya!"
Pria : "O... Hmm...." (Nyengir kuda)

Setelah menjadi orangtua, urusan anak-anak bukan hanya urusan ibu ATAU ayah. Tetapi, urusan ibu DAN ayah.


Konspirasi Milenial (?)

Ilustrasi kakak dan adik dengan gawainya.
Sumber: Pribadi
Tokoh: ibu (30+), kakak (6y), mbak (5y), adik (4y), tetangga (30+)

***

Kakak: "Ibuuu... Adik tuh buka Yutub!" teriak kakak sambil sedikit nyengir
Ibu: "Gak boleh! Ayo tutup!" balas teriak sambil sedikit mendelik
Adik: "Kakak! Itu disuruh kakak, bu...," sambil melirik kakaknya yang masih cengengesan

Adik menjadi korban "lempar tangan" Kakak.

****

Ibu: "Lho adik kok nonton Yutub?" ibu baru tersadar, sedari tadi sibuk mengobrol dengan tetangga
Adik: "Udah... Udah gak!" sambil cengengesan, buru-buru menutup Youtube, ganti layar Galeri
Tetangga: sambil berbisik, "Itu aku denger tadi si Mbak bilang ke Adik, katanya gak mau main lagi kalau ga nonton yutub."

Lagi-lagi Adik menjadi korban "lempar tangan" yang lebih tua darinya.

*****

Nasib adik jadi korban konspirasi kakak-kakaknya. Settingnya di masa ini tidak jauh-jauh ya dari gawai.

Sekian.


Edit dengan Canva
Sumber: Pribadi
 

Catatan Bintutsaniyah Template by Ipietoon Cute Blog Design