Showing posts with label Renungan. Show all posts
Showing posts with label Renungan. Show all posts

Tentang Diri dalam Semesta

Suatu hari, diri ini menyadari bahwa apa-apa yang diterima saat masih anak-anak, semua tidak seindah saat sudah memasuki usia dewasa. Menerima perubahan dalam pikiran diri sendiri itu tidak mudah. Tapi bisa, bisa dibawa menjadi hal yang biasa. Hanya perlu proses dan terus belajar untuk memahami diri.


Ketika saya mulai memahami diri sendiri,

Maka:

1. Saya mulai memahami bahwa diri kita bisa menjadi semesta, dimana ada berbagai elemen yang menyusunnya sehingga untuk 'hidup' diri ini tunggal tapi bersama elemen lain yang melengkapi.


2. Saya bisa menempatkan diri lebih stabil di tengah semesta yang lain, seperti keluarga.

Keluarga itu tidak tercipta dgn unsur yang homogen, tapi heterogen. Arti gampangnya, bermacam-macam.

Macam sifat, macam bentuk fisik, macam kondisi sosial-budaya (ketika keluarga inti sudah berkeluarga).

Dalam heterogen semesta bernama keluarga, diri ini yakin hanya mewakili salah satu atau beberapa yang dominan. Pun sama dengan anggota keluarga lain, seharusnya. Maka dari itu, jika mau semesta ini baik, maka yang diperlukan bukan sama-sama menjalani hidup dengan cara yang sama. Tapi dengan masing-masing cara, cara yang diberikan Tuhan khusus untuk masing-masing individunya. Orangtua, kakak, adik, masing-masing mempunyai cara yang mestinya tidak sama.


Jika semesta bernama keluarga sudah bisa diterima dengan tulus ikhlas, maka memahami semesta yang lebih besar bukan hal yang sulit dan aneh.


3. Semesta bernama negri tempat diri ini lahir dan menjalani kehidupan.

Meskipun tampaknya lebih beragam lagi elemen penyusunnya. Tapi, dengan konsep diri dan semesta bernama keluarga, maka semuanya menjadi lebih sederhana dan masuk akal.

Jika ditautkan dalam semesta bernama keluarga, maka elemen negri ini bisa dianalogikan sebagai ayah, ibu, anak 1, anak 2, anak ke-dst... Semua memiliki karakter berbeda-beda. Negri ini memiliki banyak propinsi, banyak kabupaten, atau banyak ormas, masing-masing tentu membawa karakter sendiri.


Contoh kasus KKB dan Papua, dimana menjadi duri dalam negeri. Bisa disederhanakan, ibarat seorang anak yang merasa memiliki kondisi kurang dari saudaranya yang lain, tidak bisa/mengerti  mengungkapkan dengan cara yg baik apa kebutuhannya, bagaimana kekurangannya bukan sebagai alasan utama hidupnya menjadi tidak baik. Pihak yg berkuasa (ibarat orangtua) tetap selalu mengupayakan cara untuk mengatasi dengan berbagai pertimbangan. Belum selesai hingga kini, mempunyai hikmah bahwa kehidupan ya seperti itu, tidak semua berjalan baik, tapi jika masih diberikan hidup oleh Tuhan, maka yang dilakukan adalah tetap berjuang, melakukan apa-apa yang menjadi misi masing-masing individu saat ini.


Raga kita tentulah tidak seluas semesta, tapi jiwa kita bisa membuat semesta masuk ke dalam genggaman kita. Temu-dapatkan diri kita yang telah diskenariokan-Nya. Fitrah lahir. Dan laksanakan pesan-pesan khusus yang Tuhan sampaikan khusus untuk kita, untuk menjadi manfaat, membawa kebahagiaan untuk diri dunia dan akhirat kelak. Klise, tapi mungkin memang sesederhana itu hakikatnya tujuan manusia dihidupkan. 


Wallahua'lam.


Tabik,

Salam Bintu Tsaniyah


TIPS ANTI BAPER (Mau Komen Apa, Monggo Disekecaaken!)

"Mbak, kamu kok beda ya..." (sambil lihat ujung kepala sampai kaki)

"Mbak, 'segeran' ya kamu..."

"Mbak, kayake tambah melebar apa ya..."

"Mbak, pipinya loh...efek pulang kampung ta..."

Dll (versi kalimatnya berbeda, tapi intinya sama, ingin mengatakan saya: Gendut)

Itu komen  para khalayak 

>Baper? Marah? Kesal?

Alhamdulillah enggak

>Harusnya marah loh!

Enggak juga enggak apa-apa, ya...mungkin dulu, sekarang enggak

>Kok bisa? Gimana cara?

Ini dia:

1. Lihat kenyataan diri. Emang komennya enggak salah. Asline ya emang lagi 'seger', lemu dan suka makan.

Konon teori abal-abal sy, ini kayak sign menuju 40s. Beberapa orang disekitar yang saya kenal dan tahu usianya, pernah saya amati ada di masa ini. Soalnya setelah melebar, ketemu lagi, eh sudah kurusan. Wallahua'lam ya...


2. Lihat siapa yang berkomentar. Karena emang ketemunya sesekali, itu pun setelah sekian bulan atau tahun. Maka wajar jika menjadi 'b' aja jika dikomentari perihal fisik atau kabar diri (plus keluarga atau pasangan). 

3. Sebaik-baik prasangka adalah prasangka yang baik. Ini mungkin bisa jadi Reminder, bahwa apapun yang dikeluarkan (statement) orang lain bisa jadi salah, bisa juga sebaliknya. Jika alasan nomer 1 dan 2 sudah tidak relevan. Karakter orang macam-macam. Bahkan diri ini juga mungkin tidak selamanya bijak berkomentar kepada orang lain, barangkali asal ceplos di waktu yang tidak tepat.

Maka, berbaik sangka adalah kuncinya.

Yang dikeluarkan (omongan) orang lain tidak bisa kontrol. Yang bisa dikendalikan hanya diri kita sendiri. Simpulan dari cara saya adalah semakin kenalilah diri secara sadar, sehingga apapun komentar orang lain terhadap diri arahkan kepada kesadaran logika. Perasaan harus diimbangi dengan kesadaran logika.


Tabik.

Salam Bintu Tsaniyah.




Doa Akhir Bulan Syakban


  
(Sumber : Ustadz Mustofa M. Noer, pengurus TPQ Annuriyyah, Kedungwaringin, Patikraja, Banyumas, Jateng)

#catatan_BiTsa

Perbedaan Biidznillah dengan InsyaAllah

Berikut ini penjelasan perbedaan biidznillah dengan insyaAllah yang dikutip dari berbagai sumber.

Jika seseorang membuat sebuah keputusan atau komitmen dan ia berkata insya Allah atau biidznillah, keduanya dapat dibenarkan. Dilansir dari laman Mufti Online, perbedaan biidznillah dan insya Allah terletak pada waktu penggunaannya.

Insya Allah digunakan hanya untuk sesuatu yang akan dilaksanakan pada masa yang akan datang (atas izin Allah SWT). Sementara biidznillah dapat digunakan untuk sesuatu yang sudah lewat, saat ini, dan yang akan terjadi di masa depan.

Selain itu, penggunaan kalimat biidznillah bersifat sangat khusus dan menunjukkan permintaan yang sangat besar. Sedangkan, kalimat insya allah bersifat lebih umum.

Dengan kata lain, biidznillah dapat digunakan sebagai pengganti kata insya Allah. Namun insya Allah tidak dapat digunakan untuk menggantikan biidznillah. Sebab, Insya Allah pengucapannya hanya digunakan untuk satu waktu saja, yakni pada masa yang akan datang.

Akhir kata, wallahu a'lam bishawab hanya Allah yang Maha Mengetahui.

Salam Bintu Tsaniyah.

Khotbah Terakhir

Source: pixabay.com
 
New Normal. Adaptasi. Jaga jarak. Kata-kata ini mungkin menjadi familiar akhir-akhir ini. Namun, siapa sangka sudah sejak sekian lama aktivitas itu ada. Hanya saja muncul tanpa disadari dan tanpa penamaan.

Suatu siang di ruang duduk belakang, aku sedang ‘entah ngapain’ duduk di kursi. Sementara jarak beberapa kursi ada beliau. Duduk santai bersandar, kedua kaki diangkat menekuk lututnya hingga seakan sejajar dengan bahunya. Dengan kacamata, beliau menekuri satu bendel kertas ukuran A5 dengan serius. Tak berapa lama. 
 
“Mbak, tulisan kayak kiye (mengeja beberapa huruf) macane kaya kiye (melafalkan satu kata dalam bahasa Inggris), bener ora?” tanya beliau. 
“Nggih, leres. Badhe ngge napa sih?” tanyaku. 
“Lha kan ngesuk arep khotbah raya ya, nah…nah…nek kiye (mengeja kata lagi) bener mbok?” kata beliau. 
 
Aku tahu terkadang beliau memang serius bertanya, tapi terkadang pula beliau hanya sekedar membuka obrolan sambil sesekali bercanda. Tapi, soal mempelajari bahan saat beliau hendak berbicara didepan umum, entah itu khotbah Jumat, khotbah Hari Raya atau ceramah rutin, itu sudah pasti dilakukan. Meski aktivitas pidato tersebut sudah menjadi rutinitas layaknya ‘makanan pokok’ selama bertahun-tahun. 
Itu menjadi pemandanganku sehari-hari. Beliau dan bacaan. Dan siang itu obrolan kami cukup mengasyikkan. 

Namun, memang segala hal yang ada di dunia ini tidak ada yang abadi. Dan hadirnya perubahan tidak selalu bisa diprediksi kapan dan berupa apa. Demikian pula yang terjadi keesokan harinya. 

Pagi itu aku sudah berangkat ke masjid raya. Mendapat tempat duduk yang nyaman, duduk takzim sambil bertakbir. Tak berapa lama, kulihat sosok beliau berjalan. Biasa, dengan koko panjang berwarna terang dan mengenakan sarung. Tampak pula sajadah yang terlipat rapi memanjang tersampir di bahunya. Kuyakin beliau juga harum, karena minyak wangi sama wajibnya dengan ibadah. 
Sekitar tiga meter sebelum beliau sampai di pojokan jalan, hanya 20 meter dari masjid, tiba-tiba terdengar suara dari dalam ruangan. Lewat pengeras suara, berbunyi penanda bahwa acara akan segera dimulai. Tapi, beliau belum sampai di lokasi, bagaimana bisa penanda terlebih dahulu? 
 
Bukan hanya aku yang bingung. Kudengar sekeliling pun mulai berbisik-bisik merasa aneh. Semua tahu beliau lah penceramahnya. Hatiku terkesiap, terlihat beliau memutar langkah. Beliau berbalik pulang. Aduh, ini buruk! 
Ya, selanjutnya acara raya hari itu berlangsung tanpa ada beliau. Sisa pelaksanaan ibadah raya kulakukan dengan hati tidak nyaman. Kuharap Tuhan memaafkanku. Setelah selesai, dengan langkah cepat, aku langsung berjalan pulang. Penasaran, bagaimana keadaan beliau. 

Rumah tampak hening, kubuka pintu depan. Tak perlu butuh waktu lama untuk mencari beliau. Beliau ada di kursi ruang tamu, di kursi favoritnya, posisi pojok. Lupa pastinya, kurasa beliau sedang membaca buku. Aku datang. Beliau hanya mengangkat matanya, mungkin sejenak tanda menyatakan selamat datang. Sekilas kulihat, matanya sedikit merah. Apa iya? Entah, tapi bukan sesuatu yang baik, raut wajahnya menyatakan itu. 

Hari itu, Hari Raya, tapi seisi rumah tidak terlalu bersuka-cita. Meski simpati khalayak cukup berdatangan. Meski hidangan segala rupa ala kadarnya sudah tersedia. Kebahagiaan usai kewajiban ‘tidak sarapan’ selama 1 bulan pun seakan tidak membuat perut meronta-ronta terus minta diisi. 

Hari itu, Hari Raya, yang pasti itulah kali terakhir langkahnya untuk berkhotbah. Beliau menutup diri untuk urusan satu itu. Apa yang sudah dipelajari beliau hari sebelumnya pada akhirnya tidak pernah sampai kepada siapapun. 
 
Hari itu adalah awal new-normal untuk kehidupan keluarga kami. 
 
Beliau tentu yang paling banyak mengalami perubahan. Sebab buatku mungkin belum seberapa, hanya soal sekeliling tidak lagi ramai, dan ada beberapa aturan baru yang harus dilakukan saat berinteraksi dengan orang tertentu. Tidak ada ujaran kebencian satu kalipun yang beliau ajarkan. Hanya menjaga jarak. Ya, menjaga jarak. Butuh waktu yang tidak singkat untuk bisa ber-adaptasi. Butuh beberapa Hari Raya untuk memulihkan luka, dan menjadi biasa saja.

Beberapa tahun kemudian.
Suatu hari ketika semua sudah terasa normal, kuberanikan bertanya pada beliau tentang kisah lama itu. Aku yang sungguh pelupa (hanya ingat peristiwa tapi tidak soal tanggal) masih penasaran dengan ‘kapan’ tepatnya kejadian itu bertanya pada beliau. 
 
“Kapan nggih?” tanyaku. 
“Lah…mbuh…kelalen.” jawab beliau. 
 
Sesimpel itu, dan dengan mimik yang biasa saja. 
Ah, memang sulit mengorek cerita soal rasa-rasa dari beliau, kali ini pun aku gagal. Apapun itu, semoga beliau selalu kuat dan baik-baik saja. 
 
Terima kasih untuk tidak pernah mengajariku, anak(anak)nya untuk membenci siapapun. Meski rasa itu sempat tumbuh itu tidak lebih dari sebuah proses pendewasaan yang manusiawi. Merasa bahwa sakit orangtua adalah sakit anaknya. Merasa ikut menerima berbagai ketidak-adilan. Satu keluarga satu rasa.
Terima kasih untuk selalu mendoakanku (kami) sehingga dalam proses kehidupanku (kami), selalu terjaga, bisa memudarkan kembali benci-dendam-marah-sakit hati itu, hingga berakhir pada keyakinan bahwa segalanya adalah skenario-Nya dan itu selalu yang terbaik serta membawa kebaikan. InsyaAllah... 

Mudah-mudahan sekelumit kisah ini bisa membawa manfaat, bukan mudarat (na'udzubillah... Astaghfirullah...) 
Semoga pandemi lekas berakhir, aamiin...
Dan, akhir kata, Wallahu 'alam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.
 


Catatan akhir kisah:
Qadarullah, Raya (Idul Fitri 1 Syawal 1441 H) tahun ini terjadi pandemi. Seluruh masyarakat dihimbau untuk merayakan ibadah Raya di rumah masing-masing demi keselamatan diri dan keluarganya. Sehingga apa yang terjadi? Setiap rumah, setiap kepala rumah tangga, setiap individu di dalam rumah yang pemahaman agamanya terbaik, berkesempatan menjadi imam salat Raya sekaligus membawakan khotbah. Masya Allah! Sungguh siapa yang menyangka hal demikian akan terjadi. Namun, itulah skenario-Nya.
Hari ini mungkin kesan menakjubkan itu sudah semakin memudar, berganti dengan rutinitas yang semakin tidak jelas, kapan pandemi berakhir. Namun, ingat kembali untuk bersyukur dengan kejadian Raya kemarin.  Bagi-Nya tidak ada yang tidak mungkin. Segala yang terlihat buruk dimata manusia, sesungguhnya Allah menyelipkan peristiwa-peristiwa yang memberikan kebaikan diantaranya. Jadi, tetap berprasangka baik kepada-Nya. 
Inilah salah satu hikmah pandemi yang sebenarnya bisa dirasakan.

Bagi aku (beliau), hikmah pandemi yang khusus adalah beliau bisa melakukan salat Raya di (dekat) rumah lagi. Tidak harus pergi jauh, meskipun semakin jauh nilai kebaikan karena jarak juga InsyaAllah dijanjikan-Nya bertambah, tapi alasan dibaliknya yang membuat sedih. 
Kali itu, tentu juga melakukan Khotbah Raya kembali. Yang seterusnya membuat beliau mau menerima kembali tawaran Khotbah Jumat di sebuah masjid. Alhamdulillah.
Episode Khotbah Terakhir sudah menjadi bersambung dengan latar cerita yang baru.
Tabik!


Cara Mudah Lewati Pandemi

Nia Ramadhani (Source: Instagram Ramadhaniabakrie)

Nia Ramadhani mengatakan, “Sejak kecil saya diajarkan oleh ayah saya untuk tidak selalu ‘melihat keatas’, tetapi ‘melihat apa yang ada dibawah’ kita.  Karena jika selalu melihat yang lebih dari kita, sampai kapanpun tidak akan pernah menemukan kepuasan.  Sementara, jika sebaliknya, yang ada kita akan mudah bersyukur dan bahagia.”

Kenalkan Kebiasaan Membaca pada Anak (Bagian 1)

Ibu dan Perpustakaan Az-Ziyadah.
Saya pernah mendapat pertanyaan seputar aktivitas membaca, yaitu (1) bagaimana caranya agar bisa suka membaca? Pertanyaan berikutnya, (2) bagaimana mengajarkan agar anak-anak suka membaca?


Jawaban Pertama,
Di usia saya yang sudah kepala tiga (ketahuan angkatan berapa ya?😅 ) membaca sudah merupakan bagian dari keseharian. Meski sudah mulai berbagi dengan membaca lewat gadget. Namun, membaca tulisan di kertas atau buku, setiap hari selalu dilakukan, meski hanya satu atau dua kalimat. 

Jadi, darimana kebiasaan membaca itu bermula? Tentunya dari kecil ya. Diawali dari komitmen ibu saya untuk membuat anak-anaknya bisa menulis dan membaca. Beliau rajin membuat kami berkutat dengan pensil dan kertas. Tapi, waktu itu tidak ada hasil lain selain bisa membaca dan menulis ya. Lain sekarang, jika dibimbing kreativitasnya mungkin bisa menjadi suatu karya yang lebih bernilai.

Back to my story, apakah lantas jadi suka membaca dari pensil dan kertas saja? Jawabnya, tidak. Seperti anak-anak pada umumnya, yang suka dengan hal-hal baru. Atau anak laki-laki yang suka mobil-mobilan, dan anak-anak perempuan yang suka boneka. Maka, untuk suka membaca, bapak dan ibu saya sering mendatangkan majalah atau buku baru untuk anak-anaknya. Biaya hidup keluarga yang terbatas tentu membuat mereka membuat trik-trik. Kami (saya dan saudari-saudari), saat itu tentu tidak berpikir sedalam itu. Hanya tahu bahwa kadang ada bacaan baru, kadang tidak.

Kini, membayangkan bapak dan ibu menyanggupi permintaan kami membeli majalah Bobo setiap kamis rasanya menyesakkan dada. Berapa rupiah anggaran belanja yang harus dialokasikan untuk membelinya, sedih...😭
Nah, jadi dalam keterbatasan, bapak dan ibu tetap memenuhi kebutuhan kami akan kebutuhan membaca. Bahkan ketika kami belum tahu apa pentingnya suka membaca buku.

Kembali kepada trik dan strategi, apa yang bapak dan ibu saya lakukan? Selain sesekali membeli sendiri, bapak sering membawa pulang buku bacaan dari perpustakaan sekolah. Memang maksudnya pinjam, tapi pinjamnya kadang sudah melebihi batas. Apakah tidak ada yang mencari? Sayangnya tidak, sepengetahuan saya seperti itu. Apakah tidak takut dosa, kan seperti mencuri? Tentu saja ada. Sering kami bertanya paa bapak, "bukunya tidak dikembalikan?". Kata bapak, kapan-kapan saja toh disana pun tidak ada yang membaca. Jadi, apakah kami jadi bagian dari penyelamat buku? Yang pasti pada suatu waktu, semua buku itu dikumpulkan dan tidak ada di rumah lagi (diloakkan?).

Cara yang lain dilakukan oleh ibu saya. Tidak, beliau tidak mengambil buku di perpustakaan sekolah. Beliau mendekatkan kami dengan adiknya, alias paman saya alias pak lik. Entah awal mulanya bagaimana, suatu hari pak lik datang lalu menaruh beberapa buku bacaan di hadapan saya dan saudari saya. Langsung tertarik? Saya, tidak😆. Kakak saya adalah pemicunya. Buat anak kedua, kakak adalah panutan. Setelah kakak saya membaca, dia akan berkomentar. Dan komentarnya selalu membuat saya ingin ikut membacanya.

Jika dari bapak, buku yang didapat adalah buku karangan penulis dalam negeri. Dari pak lik, untuk pertama kalinya kami mendapat buku karangan luar negeri. Dan pilihan pak lik selalu cocok untuk kami. Buku petualangan dan keseharian karya Enid Blyton adalah buku-buku pertama yang dihadirkan. Buku favorit selanjutnya adalah karya S. Mara Gd. yang bercerita tentang misteri. 

Darimana kah pak lik mendapatkan buku-buku itu? Kalian harus tahu, karena ini sangat epik. Jadi, pak lik mendapatkan buku itu dari sebuah perpustakaan. Perpustakaan itu katanya sepi dan dijaga oleh seorang perempuan yang menggunakan kaca mata tebal. Bagaimana cara pak lik? Biar jadi rahasia saja ya. Yang pasti beberapa dari buku tersebut hingga sekarang masih disimpan. 

Kembali, apakah tidak takut dosa? Saking tidak nyamannya, sampai ketika pak lik datang dengan buku-buku yang bener-bener baru kami harus bertanya berkali-kali "ini beli atau bukan, Lik". Terakhir dengan meyakinkan katanya beli, Alhamdulillah.

Jadi pada suatu tahun lupa tepatnya, pak lik memberi saya dan dua saudari saya kado saat kami masing-masing ulang tahun. Kado tersebut berupa buku, dan berjumlah lebih dari satu. Di bulan Mei, kakak saya yang sudah beranjak remaja mendapatkan 10 atau lebih buku karya RL. Stine. Waktu itu sedang hits ya. Di bulan Juli, giliran saya, dengan jumlah yang hampir sama, pak lik datang membawa komik Jepang bertajuk Serial Cantik dan Serial Misteri. Di bulan Sepetember, giliran adik saya mendapatkan serial dongeng karya Enid Blyton, jumlahnya di atas 5. Tahun itu sepertinya menjadi tahun yang membahagiakan sekali, Alhamdulillah. Entah kapan akhir masa pak lik menyuplai kami buku-buku, mungkin saat kami sudah mulai sibuk dengan sekolah. (Terima kasih banyak, Lik 🙏😍).

Salah satu kado untuk adik saya.
Mungkin buku-buku dari pak lik lah yang akhirnya memberi pengetahuan kepada kami bahwa ada jenis buku selain majalah Bobo dan buku perpustakaan yang bisa kami cari di toko buku. Selain dari tayangan televisi yang ada saat itu. Mulailah saya dan kakak suka membeli komik Doraemon atau Conan dengan uang tabungan sendiri. Sesekali saja, namun bisa menjadi lebih dari dua puluh buku, dimulai dari harga komik 4 ribuan rupiah (kalau tidak salah).

Banyaknya buku dan banyaknya anak-anak seumuran di sekitar kami, mendatangkan sebuah ide dari bapak (atau ibu juga) untuk mendirikan perpustakaan kecil dan sederhana. Sebab raknya pun dibuat hanya dengan kayu reng dan kawat (ide bapak). Perpustakaan itu diberi nama 'Az-Ziyadah' oleh bapak. Maknanya mendalam, kurang lebih adalah 'menambah'. Maksudnya adalah menambah pengetahuan bagi yang meminjam atau membaca buku-buku yang ada di perpustakaan. sekaligus menambah pendapatan, karena ada biaya untuk meminjamnya (sekitar 50 atau 100 rupiah). Meski pada kenyataannya lebih sering kami gratiskan, dengan alasan teman dekat. Semua yang pinjam adalah teman dekat akhirnya tidak ada pendapatan sama sekali ya 😅.

Jejak masa lalu, Perpustakaan Az-Ziyadah
Saya lupa berapa lama perpustakaan itu bertahan, pun semakin bertambah usia dan sibuk sekolah. Dengan sendirinya buku-buku yang berjajar di rak dimasukkan dalam kotak-kotak kardus. Hingga suatu ketika diloakkan. Yang pasti mudah-mudahan dengan perpustakaan tersebut, bisa menebus kesalahan yang dilakukan sebelumnya, ketika meminjam permanen dan semi permanen buku orang lain ya.

Sampai di kesimpulan ya. Jadi, tidaklah instan untuk bisa suka membaca. Butuh usaha yang keras, konsisten, dan niat yang positif.  Agar langkah kita untuk diri sendiri atau apapun yang menjadi tujuan bisa terwujud dengan baik. Ada kendala tidak menjadi halangan untuk berhenti. Ciptakan trik dan strategi karena Sang Maha Baik juga tidak akan berhenti memberikan jalan selama kita mau berusaha.

Oya, proses membaca ada yang disebut pemahaman ya. Entah apa istilahnya. Untuk bisa membaca hingga memahami bacaan juga butuh waktu yang tidak singkat. Maksudnya begini, ada saatnya kita hanya membaca tulisan, tetapi tidak sampai ke pikiran dan hati pun tidak bisa merasakan energinya. Jika demikian, maka yang dilakukan hanya membaca tulisan saja tanpa memahami. Dan pengalaman saya, saya baru bisa men-sinkronkan semuanya saat usia 12 tahun.  Jadi, sebelum usia itu, membaca hanya membaca, namun tidak sampai di hati.

Demikian jawaban saya untuk pertanyaan pertama. Semoga yang baiknya bisa menjadi manfaatnya, yang jeleknya mohon dimaafkan ya.
Wallahu a'lam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.
Untuk jawaban pertanyaan kedua, lanjut di lain waktu ya.

Tabik,

Bintu Tsaniyah





 


Inilah Alasan Untuk Tidak Perduli (yang 'Terlalu Berisik')

Suatu siang di ruang duduk belakang, aku sedang ‘entah ngapain’ duduk di kursi.  Sementara jarak beberapa kursi ada beliau.  Duduk santai bersandar, kedua kaki diangkat menekuk lututnya hingga seakan sejajar dengan bahunya.  Dengan kacamata, beliau menekuri satu bendel kertas ukuran A5 dengan serius.  Tak berapa lama.

“Kiye tulisan kaya kiye (mengeja beberapa huruf), macane kaya kiye (melafalkan satu kata), bener ora?” tanya beliau.
“Nggih, leres. Badhe ngge napa sih?” tanyaku.
“Lha kan ngesuk arep khotbah raya ya, nah…nah…nek kiye (mengeja kata lagi) bener mbok?” kata beliau.


Aku tahu terkadang beliau memang serius bertanya, tapi terkadang pula belau hanya sekedar membuka obrolan sembari bercanda.


Tapi soal mempelajari bahan saat beliau hendak berbicara didepan umum, entah itu khotbah Jumat, khotbah Hari Raya atau ceramah rutin, itu sudah pasti dilakukan. Meski aktivitas pidato tersebut sudah menjadi rutinitas layaknya ‘makanan pokok’ selama bertahun-tahun.


Itu menjadi pemandanganku sehari-hari juga, beliau dan membaca.  Dan siang itu obrolan kami mengasyikkan.


Namun, memang segala hal yang ada di dunia ini tidak ada yang abadi.  Dan hadirnya perubahan tidak selalu bisa diprediksi kapan dan berupa apa.  Demikian pula yang terjadi keesokan harinya.


Pagi itu aku sudah berangkat ke lokasi khotbah.  Mendapat tempat duduk yang nyaman, duduk takzim sambil bertakbir.  Tak berapa lama, kulihat sosok beliau berjalan.  Biasa dengan koko panjang yang warnanya aku lupa dan memakai sarung. Tampak pula sajadah yang terlipat rapi memanjang tersampir di bahunya.  Aku yakin beliau juga harum, karena minyak wangi sama wajibnya dengan ibadah.


Sekitar tiga meter sebelum beliau sampai di pojokan jalan, yang berjarak 10 meter dari lokasi, tiba-tiba terdengar suara dari dalam ruangan.  Lewat pengeras suara berbunyi penanda bahwa acara akan segera dimulai.  Tapi, beliau belum sampai di lokasi, bagaimana bisa penanda terlebih dahulu?
Bukan hanya aku yang bingung.  Kudengar sekeliling pun mulai berbisik-bisik resah.  Hatiku terkesiap, kulihat beliau memutar langkah.  Beliau berbalik pulang.  


Kujalankan sisa pelaksanaan ibadah raya dengan hati tidak nyaman.  Kuharap Tuhan memaafkanku.  Setelah selesai, dengan langkah cepat langsung berjalan pulang.  Penasaran, bagaimana keadaan beliau.


Rumah tampak hening, kubuka pintu depan.  Tak perlu butuh waktu lama untuk mencari beliau.  Beliau ada di kursi ruang tamu, di kursi favoritnya, posisi pojok.  Lupa pastinya, kurasa beliau membaca buku.  Aku datang.  Beliau hanya mengangkat matanya sejenak tanda menyatakan selamat datang. 


Sekilas kulihat, matanya sedikit merah.  Menangis?  Bisa jadi.  Tanda apa? Entah, tapi bukan sesuatu yang baik.

Hari itu, Hari Raya, tapi seisi rumah tidak terlalu bersuka-cita.  Meski simpati khalayak cukup berdatangan. Meski hidangan segala rupa ala kadarnya juga tersedia.  Kebahagiaan usai kewajiban ‘tidak sarapan’ selama 1 bulan pun seakan tidak membuat perut meronta-ronta terus minta diisi. 


Hari itu, Hari Raya, yang pasti itulah kali terakhir langkahnya untuk berkhotbah.    


Hari ini mungkin ingatan (yang boleh kusebut) luka itu sudah memudar.  Hubungan beliau dengan satu dua orang yang terlibat pun sudah cukup baik (Aamiin).  Tapi, sepertinya bekasnya masih terasa.
Aku yang pelupa masih penasaran dengan ‘kapan’ tepatnya kejadian itu bertanya pada beliau.
“Kapan?”
“Lah…mbuh…kelalen.” jawab beliau.


Sesimpel itu, dan dengan mimik yang biasa saja. Ku tahu, itu cara beliau bertahan dari segala permadalahan. Memendam sendiri dalam sedikit kata-kata.




Siapapun bebas membuat kesimpulan atas hal apapun yang pernah dialami.  Untuk kisah ini simpulan saya adalah jangan pernah melihat seseorang dari kulit luanya.  Itu peribahasa umum ya, tapi seratus persen benar.  Karena senyum di wajah, bisa jadi seringai di hati.  Sebaik-baik fisik dan penampilan, tidak menjamin bahwa orang itu pasti baik hati dan perilakunya.   Namun, kuasa Tuhan, lisan yang pintar berdalih selalu tidak mampu menampung perilakunya yang sebenarnya.

Kejadian hari itu membuat saya paham untuk tidak perlu selalu mengikuti arus, meskipun tampaknya banyak orang berada disana.  Keyakinan yang paling benar hanya milik Sang Maha.  Manusia terbaik hanya Yang Terpilih, Sang Baginda SAW yang Maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Maka rasanya kurang pas jika sampai menganggap seseorang suci sepenuhnya.  Pun menganggap yang lain kotor seterusnya. Sehingga tidak pas rasanya berisik atas hal demikian.

Wallahu a'lam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.


Cara untuk Bahagia


Sumber: pixabay.com
Siapa yang tidak pernah mengalami kegagalan. Siapa yang tidak pernah mengalami kenyataan berbeda dengan yang diharapkan. Siapapun pasti pernah mengalaminya.

Sedari kecil untuk hal yang sesederhana meminta mainan atau baju tetapi tidak dipenuhi oleh ayah atau ibu.

Suatu kali aku pernah menjadi orang yang menggebu-gebu saat mencari tambahan uang demi meringankan beban orangtua.

Seorang diri menelusup ke berbagai lingkungan. Merasa mendapat secercah harapan ketika seakan mulai ada titik terang, saat menghadap satu dua pimpinan konsultan yang menerima dengan baik; atau saat berjalan bersama seorang pustakawan mencari referensi di kantor pusat, seakan kepastian sudah semakin dekat.

Namun, sesaat kemudian satu persatu harapan itu harus tertutup dan ditutup rapat. Saat itu kecewa sudah kalah oleh rasa bahwa diri ini memang belum atau tidak pantas.

Suatu kali lagi, aku merasa semua pertanda sudah menunjukkan bahwa dia, dia atau dia akan jadi denganku. Saat satu atau dua kali bertemu tanpa sengaja, saat tiba-tiba bertemu dengan nuansa pakaian yang sama, saat satu dua kali muncul bantuan yang sukarela.

Namun, hingga batas waktunya ternyata kisah itu berakhir tanpa terjadi apa-apa. Saat itu kecewa merasa segala tumpah ruah pikiran dan perasaan sia-sia dan merasa bahwa diri ini memang belum atau tidak pantas.

Ya, sepertinya memang seperti itu kehidupan, memiliki harapan, mengulik harapan, hingga akhirnya diberikan keputusan oleh Sang Maha. Sesederhana itu meski terkadang berjalan dalam waktu yang tidak singkat. Sehingga wajar jika seringkali berakhir dengan putus asa dan hilang semangat, jika gagal.

Kuharap kalian tidak sepertiku, jadi saat gagal melompatlah langsung ke satu keadaan ini.

Yakni, ikhlas dan bersyukurlah! 

Ikhlas artinya yakin bahwa Sang Maha menggariskan kegagalan dengan maksud terbaik-Nya, tidak ada siapapun yang lebih tahu dari-Nya. Bersyukur membuat ikhlas lebih mudah, juga mendorongmu untuk lebih maju menemukan cara baru untuk bangkit.

Berandai, jika kembali ke masa kegagalan dulu, maka rasa yang ingin kurubah adalah merasa diri tidak pantas dengan menyandingkan diri dengan sesama manusia. Rasa itu paling besar menyumbangkan rasa benci terhadap semua hal. Kedua adalah memandang pertanda sebagai acuan bahwa harapanku pasti terkabul. Karena pertanda juga perlu dicari kebenarannya.

Akhir kata, Wallahu 'alam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.


Pola Asuh Anak ala Rasulullah

Asuh anak, ilustrasi.
Sumber: pixabay.com
(Ini adalah ringkasan tausiyah yang disampaikan oleh Ustadzah Citra dalam Majlis  Ta'lim Tabligh wa Tadzkir RA Al Washliyah Sindang, Indramayu. Ditulis kembali dengan sedikit referensi tambahan penulis, guna untuk memperjelas.)


Pola asuh tersebut terkait dengan apa yang disebut sunah. Dilansir dari kbbi.web.id (retrieved 15/04/2019), sunah adalah aturan agama Islam yang didasarkan atas segala apa yang dinukilkan dari Nabi Muhammad saw, baik perbuatan, sikap, maupun kebiasaan yang tidak pernah ditinggalkannya. Jadi, pola asuh anak menurut Rasululah adalah segala perbuatan, sikap maupun kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah dalam mengasuh anak-anaknya. Sebagai manusia biasa, ada baiknya kita mengikuti apa yang disunahkan oleh Rasulullah dan menjadikannya tradisi yang harus diikuti. Sebab, dengan melaksanakan sunah ada nilai ibadah didalamnya.

Tradisi sunah ini berbeda dengan tradisi budaya yang dibawa oleh nenek moyang. Tradisi Rasulullah jika ditelusuri InsyaAllah memiliki dasar keilmuan yang pasti. Sementara yang terkait dengan tradisi budaya belum tentu, misalnya larangan anak gadis duduk di depan pintu karena dikhawatirkan kelak jauh jodoh. Tradisi semacam itu jika dirunut riwayatnya, seringkali akan berujung pada "kata orangtua", jika didesak lagi akan muncul kata "pokoknya".
Kembali ke pola asuh anak, menurut sunah Rasulullah ternyata terbagi dalam 3 fase. Fase tersebut dibagi berdasarkan kelipatan 7 tahun usia anak. Yaitu Fase 7 Tahun Pertama, Fase 7 Tahun Kedua, dan Fase 7 Tahun Ketiga. Sehingga bisa dikatakan tanggung jawab penuh orangtua akan berlangsung selama 3 kali kelipatan 7, atau 21 tahun. Sungguh bukan waktu yang singkat ya, Masya Allah!Adapun pengertian sekaligus perbedaan dari masing-masing fase adalah sebagai berikut:


1. Fase 7 Tahun Pertama (0-7 tahun)
Rasulullah menganjurkan mendidik anak dengan kasih sayang. Boleh memberi perintah atau mengajarkan aturan, namun sebatas pengenalan. Tidak ada tuntutan harus dilaksanakan. Seringkali orangtua mungkin kesal saat anaknya tidak menurut seketika, ekspresikan boleh tetapi sebaiknya tanpa emosi(PR banget untuk penulis). 

Ilustrasi fase 7 tahun pertama.
Sumber: Pribadi.
2. Fase 7 Tahun Kedua (7-14 tahun)
Rasulullah menganjurkan mendidik anak dengan prinsip dan kedisiplinan. Tahap ini seorang anak mulai dikenalkan pada
tanggung jawab dan konsekuensi. Salah satu hadis yang menguatkan cara ini adalah 'Perintahkan anak-anak untuk melaksanakan salat ketika ia berumur tujuh tahun, dan pukullah (bila meninggalkannya) ketika ia sudah berusia 10 tahun" (Shahih Lighairi, HR. Abu Dawud at-Tirmidzi).

Ilustrasi fase 7 tahun kedua.
Sumber: Pribadi.
3. fase 7 Tahun Ketiga (14-21 tahun)
Rasulullah menganjurkan mendidik anak dengan prinsip bermusyawarah. Dalam fase ini bujukan atau pukulan dianggap sudah tidak relevan lagi. Anak-anak sudah paham mana salah dan benar, halal dan haram. Segala persoalan apalagi saat anak
melakukan kesalahan, maka proses pemecahannya dengan bermusyawarah, bersama-sama mencari jalan keluar terbaik.

Ilustrasi fase 7 tahun ketiga.
Sumber: Pribadi.
Harapan menerapkan pola pengasuhan anak ala Rasulullah ini adalah untuk membentuk barisan para insan kamil. Dalam ekomarwanto.com (retrieved 15/04/2019). insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata, insan dan  kamil. Secara harfiah, insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna. Terdapat 5 kriteria seorang insan kamil, antara lain sehat jasmani, bahagia rohani, kehidupan sosial baik, mempunyai penghasilan dan keharmonisan dalam rumah tangga.

Beberapa hal lain yang bisa menjadi bahan renungan dalam mendidik anak yang disampaikan dalam tausiyah, antara lain:

1. Mengenai program masuk SD usia 7 tahun, jika dikaitkan dengan pola pengasuhan ala Rasulullah, maka hasilnya adalah sinkron. Usia 7 tahun menjadi usia yang cocok untuk anak mulai diajarkan tentang kedisiplinan dan tanggung jawab. 
Ustadzah mengajak agar kita senantiasa tabayyun saat melihat segala aturan yang ada di sekitar kita. Agar segala sesuatu bisa diambil positifnya. 

Tabayyun adalah mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya. Caranya dengan meneliti dan menyeleksi berita, tidak tergesa-gesa dalam memutuskan masalah baik dalam hal hukum, kebijakan dan sebagainya hingga jelas benar permasalahannya.

2. Pengalaman Ustadzah saat berkunjung ke suatu rumah tahfidz dimana santri yang mondok rata-rata duduk di kelas 4, 5 dan 6. Beliau mengajukan pertanyaan kepada mereka, "sebentar lagi akan Lebaran, siapa yang rindu rumah?". Serentak anak-anak menjawab dengan riuh " Saya!". Namun, beliau melihat ada satu anak yang diam saja, firasat beliau mengatakan aneh. Demi meyakinkan hati beliau, pertanyaannya diulang kembali, "Siapa yang rindu rumah?" Dan, ketika yang lain menjawab sama, anak itu pun tetap sama, tetap diam. 
Akhirnya setelah ada kesempatan, beliau mendekati anak tersebut.

Ustadzah memastikan, "nak, kok tadi kamu tidak ikut menjawab, apa kamu tidak rindu rumah?"
Dengan jujur dan polos, anak itu menjawab, "tidak, saya tidak suka pulang ke rumah," Ustadzah meminta dia melanjutkan, "soalnya kalo di rumah ibu selalu belain adik, selalu adik yang benar, saya salah. Bahkan ketika adik betul-betul salah, saya tetap yang disalahkan."
Saat itu Ustadzah bertanya lagi lebih dalam, "Hanya itu kamu jadi tidak rindu orangtuamu?"

Si anak menggeleng, "Saya juga tidak suka di rumah karena ayah dan ibu selalu tidak berhenti menyuruh saya, mengambilkan minum saya, mengambil remote tv saya, bahkan mengecilkan volume tv pun saya, saya tidak suka pulang ke rumah, Ust."
Menceritakan kembali ternyata juga cukup membuat hati trenyuh dan cukup membuat bahan renungan untuk kita, khususnya penulis.
Demikian Ustadzah mengajak para orangtua untuk benar-benar dalam mendidik anak, 

Akhir kata, Wallahu a'lam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.



Ibu-ibu Majlis Ta'lim Tabligh wa Tadzkir RA Al Washliyah Sindang bersama Ustadzah Citra (berjilbab ungu).
Sumber: Ummi Dzakia


Cara untuk Mengingat Tuhan


Ilustrasi
Sumber: Dokumen pribadi.
Suatu siang di tengah waktu bekerja, aku dan rekan kerja berbincang singkat. Sebelumnya sudah banyak bicara singkat-singkat sih. Bukan perempuan mungkin kalau dalam satu ruang kerja diam-diaman sepanjang hari, kecuali sedang jutek. Sedikit opini saja.

Saat aku sedang fokus menekuri garis-garis AutoCAD di komputer, tiba-tiba rekan kerja memanggil.
"Mbak!"
Sambil menoleh singkat, saya jawab, "Yuhuuu...."
Dengan semangat dan cepat, rekan kerja melontarkan sebuah pertanyaan sekaligus pernyataannya, "Mbak, ternyata kalau sedang haid gak boleh lupa ya sama Allah, sampeyan piye, mbak?"
"Oh iya ta? Baru denger, mbak. Mmm...," Sebetulnya aku masih berpikir untuk menjawab lagi, tetapi rekan kerja lebih cepat menyela lagi. Ah... maklum ya perempuan. Aku perempuan, tapi kalau soal bicara biasa kalah (mengalah).
"Kalo aku lho mesti lupa, mbak, piye yo carane eling?"
Rekan kerja nampak serius, tapi saat itu aku juga tidak tahu jawabannya apa. Sejujurnya bukan karena semata tak tahu caranya, karena sepanjang waktu justru tidak pernah lupa!

Dan setelah sekian tahun berlalu, kali ini saya ingat lagi tentang pertanyaan itu. Dan sepertinya sekarang sudah tahu jawaban pertanyaan rekan kerja, sekaligus jawaban pertanyaan saya sendiri. Tidak lain adalah dengan dan karena rajin berdialog dengan Tuhan, Sang Esa.

Entah mulai kapan, saya tidak tahu pasti. Namun, satu yang pasti setiap manusia mempunyai masa untuk ingin banyak berbicara, mengungkapkan berbagai macam pendapat tentang sesuatu hal, mempunyai keluh kesah. Alangkah idealnya jika bisa diungkapkan kepada orang lain. Alangkah idealnya jika bisa mengungkapkannya kepada seseorang. Namun, setiap manusia mempunyai keterbatasannya masing-masing. Dulu saya menganggap keterbatasan sebagai sesuatu yang mutlak dibenci, tetapi lambat laun justru itu yang bisa membuat saya menemukan arti hidup yang sesungguhnya.

Entah sejak kapan berbicara dalam hati bukan lagi monolog. Setiap kalimat tidak pernah jauh dengan awalan "Ya Allah". Selalu terjadi dialog dengan-Nya untuk hal apapun, meskipun itu hal sepele dalam pandangan umum. Ya, inilah mungkin yang bisa disebut cara. Apakah bisa dilakukan juga oleh orang lain, sila dicoba.

Kau mungkin sedang sendiri di alam dunia, tetapi sejatinya kau tidak pernah benar-benar sendiri. Letakkkan Allah dihatimu, maka InsyaAllah kesepian tdk akan ada, kegalauan tidak akan lama melekat padamu.

Cerita ini bukan untuk menunjukkan tingkatan kedekatan seseorang dengan Tuhan-nya, karena hakNya yang menilai. Tidak ada lain hanya untuk menunjukkan bahwa menempatkan Tuhan di hati dalam setiap tingkah laku kita adalah upaya terbaik untuk selalu mengingat Sang Maha. Mengingat dalam setiap suka atau duka, sepi atau ramai, benci atau cinta, iri atau bahagia, seharusnya Tuhan selalu ada dimanapun. Karena semua rasa bersumber dari Tuhan dan semua kebaikan juga Dia yang mengadakan, itulah yang menjadi akhir dari setiap tingkah laku kita.

Wallahu A'lam Bishawab, dan hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui.

Wajah Karangsong Dulu dan Sekarang, Bukti Metamorfosis Indramayu? (Kacamata Pendatang)

Karangsong, ramai wisatawan, 2018.
Sumber: Dokumen Pribadi
Karangsong adalah salah satu pantai yang ada di Kabupaten (kota) Indramayu. Dilansir dari traveling yuk.com (retrieved 13/02/2019), dalam beberapa tahun terakhir pantai ini menjadi daya tarik wisatawan yang berlibur ke kabupaten ini.

Makna Dibalik Sebuah Panci Gosong

Foto: dokumen pribadi.
Apa yang kamu pikirkan saat melihat sebuah panci gosong di sebuah dapur yang tampak tak bercela? Mungkin yang terlintas di benakmu adalah sang empunya malas menggosok pancinya sehingga sampai berjelaga. Mungkin pada akhirnya kamu merasa tidak sesuai jika panci tersebut menghiasi dapur yang terlihat cukup bersih.

Yakinlah, Jodoh Pasti Datang!

Foto: pixabay.com
Saat itu usia saya 25 tahun, dan saya single.

Bersyukur Melalui Makanan (Spesial Resep Sederhana Mangut Ikan Pari Asap atau Iwak Pe Asap)

Jika selama ini kita menganggap "jaman now" selalu berkaitan dengan segala sesuatu yang kurang baik, seperti pergaulan anak-anak yang meresahkan, atau tindakan kriminal yang semakin banyak, atau adanya  perkembangan teknologi yang membuat para orangtua waspada. Mungkin sudah seharusnya kita sedikit berpikir keras untuk menemukan hal-hal tersembunyi yang bisa membuat kita bersyukur, bahwa kita bisa hidup di masa kini.
Mau tahu caranya? Tidak lain tidak bukan lewat topik kita kali ini, tentang makanan. Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Buktinya, dari lahir hingga meninggal kelak kita akan membutuhkan makanan. Namun, tahukah jika proses membuat makanan atau memasak itu juga mempunyai perkembangannya sendiri?

Cara Pertahankan Hati Nurani yang Baik

Foto: pixabay.com
Jika kita meyakini bahwa manusia yang paling suci (ma'sum) hanya Baginda Rasul SAW dan para Nabiyullah, seharusnya kita pun meyakini bahwa manusia itu tidak ada yang baik murni, tidak pula jahat murni.
Tidakkah muncul rasa setitik nelangsa saat melihat seorang tersangka kasus kriminal?Seorang menteri yang dianggap paham agama, dihari tua tertangkap karena kasus uang yang tak jelas. Seorang anak remaja yang dihakimi massa karena menjambret. Seorang ibu membunuh anaknya. Seorang suami membunuh istrinya karena sakit hati. Dan masih banyak lainnya.

Mengapa Hidup Selalu Sulit?

Foto: pixabay.com
Tersebutlah sebuah keluarga yang terdiri atas ayah, ibu dan seorang anaknya. Sebetulnya mereka hidup normal layaknya keluarga yang lain. Jika ada yang berbeda hanyalah mereka merasa tidak penting mengeluarkan sejumlah uang untuk kepentingan bersama warga lain. Padahal hal tersebut adalah kesepakatan seluruh warga, yaitu untuk membayar petugas kebersihan dan keamanan lingkungan.

Entah apa yang membuat mereka berpikir demikian, meski jelas jika mereka juga menggunakan fasilitas umum yang ada. Padahal jumlah sumbangan itu tak seberapa banyak, rasanya tidak sebanding dengan pengeluaran mereka untuk makan dalam jangka waktu yang sama.

Kakekku Pahlawanku

Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Menurut KBBI, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, serta pejuang yang gagah berani. Mendengar kata tersebut, pasti yang terbayangkan adalah para pejuang pada masa kemerdekaan Indonesia dalam film-film kolosal. Namun coba pikirkan, apakah kita adalah keturunan dari para pahlawan tersebut? Jika benar, sungguh tidak perlu jauh-jauh belajar tentang makna kepahlawanan, cukup dengarkan cerita dari orang tua, kakek nenek, buyut dan seterusnya.

Tentang Utang Piutang


Hai, kamu yang berhutang
Kenapa takut dengan berhutang?
Jika kamu memang betul-betul membutuhkan
Kecuali, jika sedari awal kamu butuh, tapi tak punya niat hendak membayar
Kecuali, jika hutang kau jadikan penopang gaya hidup, sehingga urusan membayar tidaklah penting
Ingat, malaikatmu tak akan pernah lupa mencatat itu

 

Catatan Bintutsaniyah Template by Ipietoon Cute Blog Design