Pola Asuh Anak ala Rasulullah

Asuh anak, ilustrasi.
Sumber: pixabay.com
(Ini adalah ringkasan tausiyah yang disampaikan oleh Ustadzah Citra dalam Majlis  Ta'lim Tabligh wa Tadzkir RA Al Washliyah Sindang, Indramayu. Ditulis kembali dengan sedikit referensi tambahan penulis, guna untuk memperjelas.)


Pola asuh tersebut terkait dengan apa yang disebut sunah. Dilansir dari kbbi.web.id (retrieved 15/04/2019), sunah adalah aturan agama Islam yang didasarkan atas segala apa yang dinukilkan dari Nabi Muhammad saw, baik perbuatan, sikap, maupun kebiasaan yang tidak pernah ditinggalkannya. Jadi, pola asuh anak menurut Rasululah adalah segala perbuatan, sikap maupun kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah dalam mengasuh anak-anaknya. Sebagai manusia biasa, ada baiknya kita mengikuti apa yang disunahkan oleh Rasulullah dan menjadikannya tradisi yang harus diikuti. Sebab, dengan melaksanakan sunah ada nilai ibadah didalamnya.

Tradisi sunah ini berbeda dengan tradisi budaya yang dibawa oleh nenek moyang. Tradisi Rasulullah jika ditelusuri InsyaAllah memiliki dasar keilmuan yang pasti. Sementara yang terkait dengan tradisi budaya belum tentu, misalnya larangan anak gadis duduk di depan pintu karena dikhawatirkan kelak jauh jodoh. Tradisi semacam itu jika dirunut riwayatnya, seringkali akan berujung pada "kata orangtua", jika didesak lagi akan muncul kata "pokoknya".
Kembali ke pola asuh anak, menurut sunah Rasulullah ternyata terbagi dalam 3 fase. Fase tersebut dibagi berdasarkan kelipatan 7 tahun usia anak. Yaitu Fase 7 Tahun Pertama, Fase 7 Tahun Kedua, dan Fase 7 Tahun Ketiga. Sehingga bisa dikatakan tanggung jawab penuh orangtua akan berlangsung selama 3 kali kelipatan 7, atau 21 tahun. Sungguh bukan waktu yang singkat ya, Masya Allah!Adapun pengertian sekaligus perbedaan dari masing-masing fase adalah sebagai berikut:


1. Fase 7 Tahun Pertama (0-7 tahun)
Rasulullah menganjurkan mendidik anak dengan kasih sayang. Boleh memberi perintah atau mengajarkan aturan, namun sebatas pengenalan. Tidak ada tuntutan harus dilaksanakan. Seringkali orangtua mungkin kesal saat anaknya tidak menurut seketika, ekspresikan boleh tetapi sebaiknya tanpa emosi(PR banget untuk penulis). 

Ilustrasi fase 7 tahun pertama.
Sumber: Pribadi.
2. Fase 7 Tahun Kedua (7-14 tahun)
Rasulullah menganjurkan mendidik anak dengan prinsip dan kedisiplinan. Tahap ini seorang anak mulai dikenalkan pada
tanggung jawab dan konsekuensi. Salah satu hadis yang menguatkan cara ini adalah 'Perintahkan anak-anak untuk melaksanakan salat ketika ia berumur tujuh tahun, dan pukullah (bila meninggalkannya) ketika ia sudah berusia 10 tahun" (Shahih Lighairi, HR. Abu Dawud at-Tirmidzi).

Ilustrasi fase 7 tahun kedua.
Sumber: Pribadi.
3. fase 7 Tahun Ketiga (14-21 tahun)
Rasulullah menganjurkan mendidik anak dengan prinsip bermusyawarah. Dalam fase ini bujukan atau pukulan dianggap sudah tidak relevan lagi. Anak-anak sudah paham mana salah dan benar, halal dan haram. Segala persoalan apalagi saat anak
melakukan kesalahan, maka proses pemecahannya dengan bermusyawarah, bersama-sama mencari jalan keluar terbaik.

Ilustrasi fase 7 tahun ketiga.
Sumber: Pribadi.
Harapan menerapkan pola pengasuhan anak ala Rasulullah ini adalah untuk membentuk barisan para insan kamil. Dalam ekomarwanto.com (retrieved 15/04/2019). insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata, insan dan  kamil. Secara harfiah, insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna. Terdapat 5 kriteria seorang insan kamil, antara lain sehat jasmani, bahagia rohani, kehidupan sosial baik, mempunyai penghasilan dan keharmonisan dalam rumah tangga.

Beberapa hal lain yang bisa menjadi bahan renungan dalam mendidik anak yang disampaikan dalam tausiyah, antara lain:

1. Mengenai program masuk SD usia 7 tahun, jika dikaitkan dengan pola pengasuhan ala Rasulullah, maka hasilnya adalah sinkron. Usia 7 tahun menjadi usia yang cocok untuk anak mulai diajarkan tentang kedisiplinan dan tanggung jawab. 
Ustadzah mengajak agar kita senantiasa tabayyun saat melihat segala aturan yang ada di sekitar kita. Agar segala sesuatu bisa diambil positifnya. 

Tabayyun adalah mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya. Caranya dengan meneliti dan menyeleksi berita, tidak tergesa-gesa dalam memutuskan masalah baik dalam hal hukum, kebijakan dan sebagainya hingga jelas benar permasalahannya.

2. Pengalaman Ustadzah saat berkunjung ke suatu rumah tahfidz dimana santri yang mondok rata-rata duduk di kelas 4, 5 dan 6. Beliau mengajukan pertanyaan kepada mereka, "sebentar lagi akan Lebaran, siapa yang rindu rumah?". Serentak anak-anak menjawab dengan riuh " Saya!". Namun, beliau melihat ada satu anak yang diam saja, firasat beliau mengatakan aneh. Demi meyakinkan hati beliau, pertanyaannya diulang kembali, "Siapa yang rindu rumah?" Dan, ketika yang lain menjawab sama, anak itu pun tetap sama, tetap diam. 
Akhirnya setelah ada kesempatan, beliau mendekati anak tersebut.

Ustadzah memastikan, "nak, kok tadi kamu tidak ikut menjawab, apa kamu tidak rindu rumah?"
Dengan jujur dan polos, anak itu menjawab, "tidak, saya tidak suka pulang ke rumah," Ustadzah meminta dia melanjutkan, "soalnya kalo di rumah ibu selalu belain adik, selalu adik yang benar, saya salah. Bahkan ketika adik betul-betul salah, saya tetap yang disalahkan."
Saat itu Ustadzah bertanya lagi lebih dalam, "Hanya itu kamu jadi tidak rindu orangtuamu?"

Si anak menggeleng, "Saya juga tidak suka di rumah karena ayah dan ibu selalu tidak berhenti menyuruh saya, mengambilkan minum saya, mengambil remote tv saya, bahkan mengecilkan volume tv pun saya, saya tidak suka pulang ke rumah, Ust."
Menceritakan kembali ternyata juga cukup membuat hati trenyuh dan cukup membuat bahan renungan untuk kita, khususnya penulis.
Demikian Ustadzah mengajak para orangtua untuk benar-benar dalam mendidik anak, 

Akhir kata, Wallahu a'lam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.



Ibu-ibu Majlis Ta'lim Tabligh wa Tadzkir RA Al Washliyah Sindang bersama Ustadzah Citra (berjilbab ungu).
Sumber: Ummi Dzakia


Cara untuk Mengingat Tuhan


Ilustrasi
Sumber: Dokumen pribadi.
Suatu siang di tengah waktu bekerja, aku dan rekan kerja berbincang singkat. Sebelumnya sudah banyak bicara singkat-singkat sih. Bukan perempuan mungkin kalau dalam satu ruang kerja diam-diaman sepanjang hari, kecuali sedang jutek. Sedikit opini saja.

Saat aku sedang fokus menekuri garis-garis AutoCAD di komputer, tiba-tiba rekan kerja memanggil.
"Mbak!"
Sambil menoleh singkat, saya jawab, "Yuhuuu...."
Dengan semangat dan cepat, rekan kerja melontarkan sebuah pertanyaan sekaligus pernyataannya, "Mbak, ternyata kalau sedang haid gak boleh lupa ya sama Allah, sampeyan piye, mbak?"
"Oh iya ta? Baru denger, mbak. Mmm...," Sebetulnya aku masih berpikir untuk menjawab lagi, tetapi rekan kerja lebih cepat menyela lagi. Ah... maklum ya perempuan. Aku perempuan, tapi kalau soal bicara biasa kalah (mengalah).
"Kalo aku lho mesti lupa, mbak, piye yo carane eling?"
Rekan kerja nampak serius, tapi saat itu aku juga tidak tahu jawabannya apa. Sejujurnya bukan karena semata tak tahu caranya, karena sepanjang waktu justru tidak pernah lupa!

Dan setelah sekian tahun berlalu, kali ini saya ingat lagi tentang pertanyaan itu. Dan sepertinya sekarang sudah tahu jawaban pertanyaan rekan kerja, sekaligus jawaban pertanyaan saya sendiri. Tidak lain adalah dengan dan karena rajin berdialog dengan Tuhan, Sang Esa.

Entah mulai kapan, saya tidak tahu pasti. Namun, satu yang pasti setiap manusia mempunyai masa untuk ingin banyak berbicara, mengungkapkan berbagai macam pendapat tentang sesuatu hal, mempunyai keluh kesah. Alangkah idealnya jika bisa diungkapkan kepada orang lain. Alangkah idealnya jika bisa mengungkapkannya kepada seseorang. Namun, setiap manusia mempunyai keterbatasannya masing-masing. Dulu saya menganggap keterbatasan sebagai sesuatu yang mutlak dibenci, tetapi lambat laun justru itu yang bisa membuat saya menemukan arti hidup yang sesungguhnya.

Entah sejak kapan berbicara dalam hati bukan lagi monolog. Setiap kalimat tidak pernah jauh dengan awalan "Ya Allah". Selalu terjadi dialog dengan-Nya untuk hal apapun, meskipun itu hal sepele dalam pandangan umum. Ya, inilah mungkin yang bisa disebut cara. Apakah bisa dilakukan juga oleh orang lain, sila dicoba.

Kau mungkin sedang sendiri di alam dunia, tetapi sejatinya kau tidak pernah benar-benar sendiri. Letakkkan Allah dihatimu, maka InsyaAllah kesepian tdk akan ada, kegalauan tidak akan lama melekat padamu.

Cerita ini bukan untuk menunjukkan tingkatan kedekatan seseorang dengan Tuhan-nya, karena hakNya yang menilai. Tidak ada lain hanya untuk menunjukkan bahwa menempatkan Tuhan di hati dalam setiap tingkah laku kita adalah upaya terbaik untuk selalu mengingat Sang Maha. Mengingat dalam setiap suka atau duka, sepi atau ramai, benci atau cinta, iri atau bahagia, seharusnya Tuhan selalu ada dimanapun. Karena semua rasa bersumber dari Tuhan dan semua kebaikan juga Dia yang mengadakan, itulah yang menjadi akhir dari setiap tingkah laku kita.

Wallahu A'lam Bishawab, dan hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui.

SINKRON


Ilustrasi ibu, ayah dan anak.
Sumber: pixabay.com

Pria : "Hmm... Memang ya ibu betul-betul berpengaruh buat kondisi anak-anaknya."
Wanita : "Iya sih, tapi kamu harus tahu kondisi ibunya juga bergantung sama sikap,a ayahnya!"
Pria : "O... Hmm...." (Nyengir kuda)

Setelah menjadi orangtua, urusan anak-anak bukan hanya urusan ibu ATAU ayah. Tetapi, urusan ibu DAN ayah.


Konspirasi Milenial (?)

Ilustrasi kakak dan adik dengan gawainya.
Sumber: Pribadi
Tokoh: ibu (30+), kakak (6y), mbak (5y), adik (4y), tetangga (30+)

***

Kakak: "Ibuuu... Adik tuh buka Yutub!" teriak kakak sambil sedikit nyengir
Ibu: "Gak boleh! Ayo tutup!" balas teriak sambil sedikit mendelik
Adik: "Kakak! Itu disuruh kakak, bu...," sambil melirik kakaknya yang masih cengengesan

Adik menjadi korban "lempar tangan" Kakak.

****

Ibu: "Lho adik kok nonton Yutub?" ibu baru tersadar, sedari tadi sibuk mengobrol dengan tetangga
Adik: "Udah... Udah gak!" sambil cengengesan, buru-buru menutup Youtube, ganti layar Galeri
Tetangga: sambil berbisik, "Itu aku denger tadi si Mbak bilang ke Adik, katanya gak mau main lagi kalau ga nonton yutub."

Lagi-lagi Adik menjadi korban "lempar tangan" yang lebih tua darinya.

*****

Nasib adik jadi korban konspirasi kakak-kakaknya. Settingnya di masa ini tidak jauh-jauh ya dari gawai.

Sekian.


Edit dengan Canva
Sumber: Pribadi
 

Catatan Bintutsaniyah Template by Ipietoon Cute Blog Design