Tips Mendidik Anak di Era Digital

Sumber: www.instagram.com/najiyyatul_ummah
"Nyalakan tombol power, tunggu proses loading.  Setelah masuk windows, klik lambang Windows Explorer.  Ketemu folder videos, lalu mulai memilih video.  Bisa klik dua kali pada tombol _spasi_ atau klik kanan pilih _play."

Yes, itu adalah ilustrasi pembuka saat si krucils, si Sulung - 5 tahun dan si Kedua - 2,5 tahun, berhadapan dengan laptop.  Jangan ditanya kemampuan baca, sama sekali belum bisa!  Si Sulung saja mungkin baru mengerti satu dua huruf saja, huruf ya bukan kalimat, hehe...  Ya, mereka hanya mengamati cara orang dewasa yang mengoperasikannya, kemudian menghafalkannya, sampai akhirnya menirunya.  Prok...prok...prok... itulah kehebatan anak jaman now.  Kehebatan?  Iya, jika menurut orang jaman old (baca: jaman bapak ibunya, embah-embahnya).  Kalau dibandingkan dengan sepantarannya "itu mah biasa wae kaliii" 😅😅

Yes, beginilah gambaran generasi anak-anak balita sekarang.  Ada istilah yang menamakannya Generasi Alpha (Gen A), mereka adalah orang-orang yang lahir sejak tahun 2010, yang sejak kelahirannya sudah bersentuhan dengan teknologi.  Lebih lengkapnya, silahkan cek di laman pencarian ya 😁😁

Bagi generasi seusia krucils saya, gadget itu sudah seperti udara kali ya, terpampang jelas di hadapan mereka setiap saat (kecuali saat-saat tertentu ketika diculik oleh saya atau bapaknya, dengan atau tanpa sengaja).  Melihat anak-anak ini tidak gemetar kepleset touch screen saja sudah merupakan bukti paling otentik generasi ini lihai berdigital.  Bayangkan hape ibunya pertama kali, boro-boro layarnya lebar, hanya selebar satu sentimeter  mungkin.  Hanya memuat tulisan satu garis yang cara membacanya bergeser ke kiri, semacam running text di depan kantor atau sekolahan 😂.  Pertama kali memegang hape pun saat masuk kuliah (18 tahun), dikasih saudara pula, demi menjaga komunikasi yang lancar dan hemat dengan orangtua 😍😍.  Jadi, dalam kurun waktu 15 tahun perubahan dunia sudah sangat sedemikian hebat, bandingkan saja dengan "32 tahun" yang (terlihat) damai tapi begitu-begitu saja 🙊🙊

Jika saya merunut waktu lagi, si Sulung - 5 tahun memang sudah bersentuhan dengan aneka teknologi sedari lahir (aneka, sudah macam jajanan ya 😛).  Ada laptop, hape, tablet.  Semua terjadi apa adanya, karena benda-benda itu memang menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari orangtuanya.  Jika kemudian kami (orangtua) mulai melakukan pengaturan, adalah ketika mulai menyadari ternyata perlu pengendalian.  Maklum, orangtua baru semacam kami pasti metode paling gampang yang dipilih adalah trial - error, mencoba berbagai hal untuk kemudian ditelaah, lalu disimpulkan baik atau tidak, jika tidak solusinya bagaimana (😲😲).  Bahasa ruwet itu intinya jalani saja, ketemu masalah baru diselesaikan 😎😎

Bayi Sulung sempat berhasil membuat keypad laptop satu persatu lepas.  Ibunya baik hati dan bapaknya santai, jadi sampai lebih dari 10 not huruf lepas, masih santai membiarkan  anaknya mengeksplorasi laptop 😅.  Saya jadi kepikiran tentang permainan yang digunakan bayi untuk melatih sensorik kasar-halus, diantara macam-macam kain, plastik dan karet, mungkin bisa ditambahkan kali ya model keyboard, intermezo 😁😁
Saat mulai bisa duduk dan berjalan mulai tertarik dengan hape dan tablet.  Touch screen??  Yes.  Reaksinya di awal-awal adalah kesal.  Jika saya kepleset layar sentuh di usia setelah menikah (tua 😆😆), si Sulung kira-kira di usia satu tahun.  Di saat ini lah saya dan suami mulai menyadari perlunya pengaturan.  Jadwal tidak saklek, sesuai mood masing-masing pihak, yang pasti jangan berikan gadget ketika mood ibu sedang tidak baik, alhasil emosi makin memuncak ( 😢).  Jika mood ibu baik, si bayi meskipun awalnya kesal tangannya kepleset-pleset di layar sentuh lama-lama bisa juga mengendalikan (catet...).

Awal menginjak usia si Sulung 2 tahun sudah mengenal laman YouTube.  Oya dari awal dia lahir, sama sekali kurang antusias dengan televisi, mau acara yang ditampilkan semenarik apa pun sulit membuat dia fokus menonton.  Lain dengan gadget, langsung membuat dia tertarik.  Ibu mau tidak mau harus meminta bantuan gadget untuk memberi kegiatan si Sulung yang sukanya bergerak kemana-mana.  Kembali ke YouTube, ternyata tidak hanya kaum old yang suka, bayi pun juga, video yang berganti-ganti membuat mata seakan tidak pernah lelah.  Suatu ketika, saya dan suami pernah mencoba eksperimen ke si Sulung, kembali ke metode trial - error ya 😅  Si Sulung sedang senang-senangnya tantrum.  Sudah waktunya tidur dia masih keukeh melihat YouTube.  Baiklah, kami turuti dengan maksud mau lihat sampe seberapa lama dia bertahan, prediksi kami tidak lama.  Ternyata salah, sampe lewat 1,5 jam rupanya masih kuat, Masya Allah...  Terpaksa kami sudahi dengan paksaan.  Dan jadi pelajaran untuk ke depannya.

Sampai hari ini masih banyak trial-error untuk mendidik krucils soal gadget.  Ditambah ada adiknya, yang jika dibandingkan lebih pesat lagi perkembangannya dengan masa si kakak.  Apakah harus diperhatikan betul-betul soal per-gadget-an ini?  Buat saya, sebagai orangtua jaman sekarang adalah iya.

Kita tidak bisa mengingkari masa ini, karena itu sama saja dengan melawan takdirNya.  Biarkan anak-anak berkembang sesuai dunianya.  Yang perlu dijaga adalah hal-hal yang bersifat esensial agar tetap pada tempatnya.  Hubungan dengan Yang Maha Kuasa tetap terjaga (ibadah), hubungan dengan sesama manusia terjalin dengan baik dan semestinya (persaudaraan, pertemanan).

Gadget bisa jadi sahabat anak yang baik, tergantung bagaimana orangtuanya mengenalkan dan mengajarkannya. Itu poinnya!


*Pernah diterbitkan di status Facebook penulis


Tips Menyapih ASI dengan Cinta, (Seharusnya) juga Butuh Deadline Lho!

Sumber : pixabay.com 
Setiap ibu pasti ingin melakukan yang terbaik untuk anaknya, tak terkecuali dalam hal menyapih ASI untuk si kecil. Pada zaman dulu menyapih identik dengan memaksa si kecil dengan segera menyudahi menyusui langsung pada ibunya, misalnya dengan bratawali atau ramuan lainnya yang membuat bayi tidak suka.
Saat ini beberapa ibu, atas saran orangtua masih melakukan cara itu. Namun, sebagian yang lain sudah menyadari bahwa menyapih dengan paksa akan meninggalkan efek samping, diantaranya efek trauma pada anak. Hingga munculah teori menyapih dengan cinta atau weaning with love (WWL), yaitu mengakhiri kegiatan menyusui antara ibu dengan anak dengan kerelaan. Rela artinya tanpa paksaan.
Melakukan WWL harus dengan kesabaran. Karena, si kecil disapih bukan dengan cara memutus langsung, tetapi dengan melakukan beberapa stimulus. Stimulusnya berupa mengurangi frekuensi menyusui, menerapkan waktu-waktu tertentu untuk menyusui, hingga akhirnya si kecil dengan sendirinya menolak secara langsung. Kemauan si kecil tersebut menandakan bahwa dia sudah bisa menerima dengan ikhlas untuk lepas dari ASI. Tentunya hal tersebut merupakan kebahagiaan bagi ibu dan si kecil, ikatan batin mereka berdua juga tetap terjalin dengan baik.
Cara WWL memang banyak kelebihannya, namun di sisi lain mungkin mempunyai kelemahannya. Yakni, waktu yang tidak pasti kapan si kecil benar-benar berhenti menyusui. Beberapa ibu ada yang mengakui jika anaknya berhasil lepas dari ASI saat menginjak usia 3 tahun bahkan lebih. Padahal beberapa penelitian terbaru ada yang mengatakan jika menyusui si kecil setelah 2 tahun memiliki dampak negatif. Dalam ajaran agama pun, masa 2 tahun menjadi patokan meskipun tidak mutlak (bisa kurang atau lebih).
Oleh karenanya, sebaiknya mungkin cara WWL pun memerlukan deadline atau tenggat waktu terakhir. Namun, tidak harus langsung ditepati seperti deadline dalam urusan pekerjaan, dalam menyapih bisa mundur atau dimajukan tergantung kondisi si kecil. Menentukan deadline sama halnya dengan mengucapkan niat. Niat berarti mempunyai tujuan yang jelas. Sehingga tujuan darideadline adalah agar orangtua semakin fokus melakukannya, dan bersemangat untuk selalu mencari strategi agar menyapih bisa segera berhasil.
Berikut ini adalah beberapa hal yang dilakukan untuk menyapih ASI si kecil dengan sukarela sekaligus bersama deadline.
  • Menyepakati waktu deadline sebelumnya
Takdir memang tidak ada yang tahu, namun manusia berhak untuk berencana. Demikian juga saat menentukan deadline, direncanakan dengan asumsi bahwa kondisi ibu dan si kecil dalam keadaan sehat. Sebaiknya beberapa bulan sebelumnya, ingat bahwa metode yang dipilih adalah WWL atau menyapih dengan kerelaan. Jika deadline sudah disepakati, maka ibu atau ayah bisa segera memulai stimulusnya. Semakin longgar waktunya, stimulus bisa dilakukan dengan lebih rileks.
Misalkan, kesepakatan orangtua adalah 2 tahun si kecil sudah berhenti menyusui. Ibu bisa mulai memberikan stimulus sejak 6 bulan sebelumnya, misalnya dengan menanamkan sugesti bahwa tidak lama lagi si kecil harus berhenti meminta ASI.
  • Ibu dan ayah harus kompak
Setelah menjadi orangtua, ibu dan ayah merupakan satu paket sehingga membuat sebuah keputusan harus berdasarkan kesepakatan keduanya. Termasuk saat menentukan kapan deadline si kecil disapih. Jika ibu memutuskan sendiri, bisa jadi saat menemukan kegundahan di tengah prosesnya, ayah akan cenderung menyalahkan atau lepas tangan begitu saja. Otomatis, rencana akan gagal atau berhenti di tempat. Emosi ibu yang buruk pun akan mempengaruhi mood si kecil.
Dalam proses menyapih peran ayah justru sangat penting. Karena bisa sebagai penghibur dan pengalihan ketika ibu sedang mulai melakukan stimulus, seperti mengurangi waktu menyusui si kecil. Si kecil bisa diajak bermain dengan ayah. Secara tidak langsung, ikatan antara ayah dan si kecil pun semakin erat.
Selain itu, dengan menentukan deadline, ayah juga diharapkan bisa mempersiapkan stamina lebih dan waktu luang menjelang saat terakhir si kecil diberikan ASI.
  • Tahapan stimulus yang dilakukan
Dalam WWL atau menyapih dengan cinta, ibu sebagai orang terdekat bisa melakukan tahapan ini secara berurutan (berdasarkan pengalaman pribadi).
  1. Menanamkan sugesti agar si kecil mau berhenti meminta ASI. Misalnya lewat kata-kata, “nak, kamu bentar lagi dua tahun lho, sudah besar, kalau minum ASI malu lho!”. Meskipun pada awalnya si kecil tidak memahami maksudnya, namun seiring berjalannya waktu pasti akan mengerti. Dengan mengajaknya berbicara, juga mengajarkan si kecil cara untuk berkomunikasi.
  2. Mengurangi frekuensi menyusui. Jika sebelumnya setiap kali si kecil meminta ASI langsung diberikan, kali ini buatlah jeda. Mungkin beberapa menit dulu, yang pasti ajarkan si kecil untuk menunda keinginannya. Semakin terbiasa, bisa mulai diatur hanya jam-jam tertentu. Hingga akhirnya saat yang paling sulit, yaitu saat menjelang tidur malam. Jika si kecil sudah sampai tahapan ini, kemungkinan sudah hampir berhasil.
  • Cara tradisional sebagai alternatif penutupdeadline
Inilah bedanya dengan WWL pada umumnya.Deadline akan membatasi waktu, sehingga seandainya ada kelebihan waktu tidak terlalu lama. Beberapa ibu mengemukakan keluhannya bahwa ingin si kecil berhenti menyusui dengan sendirinya, tetapi sangat lama. Tidak jarang berhenti karena memang umurnya sudah besar, dan karena sudah tahu malu. Memang tidak mengapa, tetapi secara psikologis pasti akan memiliki dampaknya. Diantaranya anak akan kurang mandiri dan ibu masih terjebak dalam aktivitas menyusui yang sebetulnya sudah bukan kebutuhan penting si kecil.
Untuk itu, rasanya warisan orangtua pada masa lalu bisa digunakan, yaitu memakai cara tradisional. Seperti memakai daun-daun pahitan atau cara lain,yang membuat si kecil tidak menyukai ASI lagi. Berdasarkan pengalaman pribadi yang hanya mengoleskan tumbukan daun pepaya pada sekitar ASI, hanya membuat anak-anak merasa tidak nyaman dalam sehari hingga seminggu saja sampai benar-benar lupa dengan aktivitas minum ASI. Stimulus dan sugesti yang diajarkan dalam metode WWL yang maksimal, menjadikan cara tradisional tidak lagi menimbulkan efek trauma pada anak.
Bagaimana apakah Ibu setuju dengan artikel ini? Hidup adalah pilihan, setiap orang berhak memilih jalan mana yang akan membawa kebahagiaan. Artikel ini memberikan sebuah gambaran lain untuk kebahagiaan ibu dan si kecil. Apapun yang dipilih, yakinlah, karena itu kunci utamanya.
Semoga bermanfaat.

Referensi:
https://www.ayahbunda.co.id/kelahiran-tips/tips-menyapih-dengan-cinta (28/11/2017)
https://hellosehat.com/parenting/menyusui/menyusui-lebih-dari-2-tahun/ (28/11/2017)

Kunci Sukses Menyapih ASI Si Kecil

Sumber: pixabay.com
Bagi seorang ibu mungkin menyapih ASI dari si kecil merupakan perkara yang sama beratnya seperti mempersiapkan kelahirannya.  Seringkali para orangtua merasa bimbang kapan saat yang tepat untuk menyapih, dan dengan cara apa.  Ada pula yang sering gagal dikarenakan faktor tidak tega. 
Tapi tahukah Ibu, bahwa menyapih ASI itu bisa juga berlangsung dengan cepat sekaligus tidak meninggalkan efek trauma kepada si kecil.  Berdasarkan pengalaman pribadi, kunci utamanya adalah keyakinan ibu.  Yakinlah bahwa proses menyapih si kecil adalah yang terbaik untuk proses tumbuh kembangnya, serta mendatangkan banyak hal yang positif.
Untuk memperkuat keyakinan tentang menyapih ASI bagi si kecil, Ibu bisa memperoleh anjuran-anjurannya melalui  ajaran agama yang dianut.  Selain itu, bisa juga dari referensi kesehatan yang kini banyak dipublikasikan media.
Jika dalam ajaran Islam, patokan yang digunakan untuk menyapih adalah saat si kecil berusia dua tahun atau 24 bulan.  Ada pula ayat yang menyatakan angka 30 bulan sebagai waktu akumulasi mengandung dan menyapih.  Jika mengandung 9 bulan,maka waktu  menyapihnya adalah ketika si kecil berumur 21 bulan.  Ya, patokan dua tahun atau 24 bulan ternyata bukan angka yang mutlak, bisa kurang dan mungkin lebih. 
Kondisi fisik dan psikis ibu dan si kecil adalah pertimbangan juga untuk menentukan bilangan waktu yang tepat (masih dalam kisaran 24 bulan,kurang atau lebih).  Jika ibu melihat kondisi fisik si kecil senantiasa stabil, aktif dan ceria,maka itu bisa menjadi patokan awal bahwa menyapih bisa dilakukan.
 Jika ibu merasa sudah kurang nyaman dengan aktivitas menyusui si kecil, misalnya si kecil terlalu aktif bergerak saat menyusui, atau mulai usil dengan menggigit atau main-main, maka ibu pun berhak untuk menyapihnya.  Dalam Islam, dibolehkan menyapih jika ibu sudah merasa susah untuk menyusui si kecil.  Kerelaan kedua belah pihak dan dirundingkan masak-masak sangat perlu dilakukan.
Itulah beberapa hal yang bisa memperkuat keyakinan Ibu untuk menyapih si kecil.  Perlu diputuskan jauh-jauh hari agar keyakinan juga mulai ditata dan tidak goyah.  Ibu yang tidak kuat,akan mudah goyah.  Bukan si kecil atau ayah atau sanak keluarga yang lain yang menentukan keberhasilan proses penyapihan ASI, tapi hati Ibu lah kuncinya.
Semoga bermanfaat.

Referensi:
http://www.caraspot.com/pandangan-islam-soal-menyusui-dan-waktu-menyapih-anak.html
 

Catatan Bintutsaniyah Template by Ipietoon Cute Blog Design