Selamat Hari Ibu!

Tanggal 22 Desember merupakan hari peringatan atau perayaan yang dilakukan sebagai bentuk penghargaan terhadap perjuangan seorang ibu dalam keluarga. Sejarah mengatakan bahwa Hari Ibu ditetapkan sebagai hari Nasional sejak tahun 1959 oleh Presiden Soekarno. Setelah sebelumnya diputuskan dalam sebuah Kongres Perempuan Indonesia pada tahun 1928.

Mungkin sejarah tampak tidak begitu penting, namun di masa sekarang dimana segala sesuatu tampak 'abu-abu' sehingga memunculkan banyak keraguan. Informasi tersebut sangat diperlukan. Apalagi ketika saya sudah menjadi seorang ibu. Dimana, saya (dan juga suami) adalah kamus pertama untuk anak-anak. 

Terlebih di masa pandemi ini, perjuangan seorang ibu secara nyata mungkin  menjadi semakin berat. Anak-anak yang harus bersekolah di rumah atau pendapatan keluarga yang semakin terbatas. Belum lagi persoalan lain, seperti aktivitas yang terbatasi, membuat para ibu rentan untuk menjernihkan pikiran. Subhanallah... 

Tapi, Ibu, itu mungkin gambaran rasa ya. Menapaki kenyataano, kita haruslah senantiasa optimis dan berusaha mengedepankan berpikir positif. Mulailah dari bersyukur atas keadaan yang paling sederhana sekalipun, apapun itu. Alhamdulillah 'ala kulli hal, "segala puji bagi Allah dalam setiap keadaan”, mungkin bisa menjadi mantra penguat ibu. 

Sesuai dengan tema pemerintah tentang Hari Ibu tahun ini, yaitu 'Perempuan Berdaya Indonesia Maju', yaitu:

Untuk menjadi berdaya itu tidak hanya bisa diraih dengan materi saja. Buka pikiran seluas-luasnya, mohon petunjuk-Nya untuk bisa menyaring mana hal-hal yang baik saja. Ikuti ritmenya, maka terbitlah sebuah jalan untuk menghasilkan sesuatu. InsyaAllah. 


Selamat Hari Ibu, untuk para ibu (& calon ibu)  Indonesia. 

Stay safe, stay healthy, always positive mind for you all ❤

Happy mom, happy family, InsyaAllah 😇



Khotbah Terakhir

Source: pixabay.com
 
New Normal. Adaptasi. Jaga jarak. Kata-kata ini mungkin menjadi familiar akhir-akhir ini. Namun, siapa sangka sudah sejak sekian lama aktivitas itu ada. Hanya saja muncul tanpa disadari dan tanpa penamaan.

Suatu siang di ruang duduk belakang, aku sedang ‘entah ngapain’ duduk di kursi. Sementara jarak beberapa kursi ada beliau. Duduk santai bersandar, kedua kaki diangkat menekuk lututnya hingga seakan sejajar dengan bahunya. Dengan kacamata, beliau menekuri satu bendel kertas ukuran A5 dengan serius. Tak berapa lama. 
 
“Mbak, tulisan kayak kiye (mengeja beberapa huruf) macane kaya kiye (melafalkan satu kata dalam bahasa Inggris), bener ora?” tanya beliau. 
“Nggih, leres. Badhe ngge napa sih?” tanyaku. 
“Lha kan ngesuk arep khotbah raya ya, nah…nah…nek kiye (mengeja kata lagi) bener mbok?” kata beliau. 
 
Aku tahu terkadang beliau memang serius bertanya, tapi terkadang pula beliau hanya sekedar membuka obrolan sambil sesekali bercanda. Tapi, soal mempelajari bahan saat beliau hendak berbicara didepan umum, entah itu khotbah Jumat, khotbah Hari Raya atau ceramah rutin, itu sudah pasti dilakukan. Meski aktivitas pidato tersebut sudah menjadi rutinitas layaknya ‘makanan pokok’ selama bertahun-tahun. 
Itu menjadi pemandanganku sehari-hari. Beliau dan bacaan. Dan siang itu obrolan kami cukup mengasyikkan. 

Namun, memang segala hal yang ada di dunia ini tidak ada yang abadi. Dan hadirnya perubahan tidak selalu bisa diprediksi kapan dan berupa apa. Demikian pula yang terjadi keesokan harinya. 

Pagi itu aku sudah berangkat ke masjid raya. Mendapat tempat duduk yang nyaman, duduk takzim sambil bertakbir. Tak berapa lama, kulihat sosok beliau berjalan. Biasa, dengan koko panjang berwarna terang dan mengenakan sarung. Tampak pula sajadah yang terlipat rapi memanjang tersampir di bahunya. Kuyakin beliau juga harum, karena minyak wangi sama wajibnya dengan ibadah. 
Sekitar tiga meter sebelum beliau sampai di pojokan jalan, hanya 20 meter dari masjid, tiba-tiba terdengar suara dari dalam ruangan. Lewat pengeras suara, berbunyi penanda bahwa acara akan segera dimulai. Tapi, beliau belum sampai di lokasi, bagaimana bisa penanda terlebih dahulu? 
 
Bukan hanya aku yang bingung. Kudengar sekeliling pun mulai berbisik-bisik merasa aneh. Semua tahu beliau lah penceramahnya. Hatiku terkesiap, terlihat beliau memutar langkah. Beliau berbalik pulang. Aduh, ini buruk! 
Ya, selanjutnya acara raya hari itu berlangsung tanpa ada beliau. Sisa pelaksanaan ibadah raya kulakukan dengan hati tidak nyaman. Kuharap Tuhan memaafkanku. Setelah selesai, dengan langkah cepat, aku langsung berjalan pulang. Penasaran, bagaimana keadaan beliau. 

Rumah tampak hening, kubuka pintu depan. Tak perlu butuh waktu lama untuk mencari beliau. Beliau ada di kursi ruang tamu, di kursi favoritnya, posisi pojok. Lupa pastinya, kurasa beliau sedang membaca buku. Aku datang. Beliau hanya mengangkat matanya, mungkin sejenak tanda menyatakan selamat datang. Sekilas kulihat, matanya sedikit merah. Apa iya? Entah, tapi bukan sesuatu yang baik, raut wajahnya menyatakan itu. 

Hari itu, Hari Raya, tapi seisi rumah tidak terlalu bersuka-cita. Meski simpati khalayak cukup berdatangan. Meski hidangan segala rupa ala kadarnya sudah tersedia. Kebahagiaan usai kewajiban ‘tidak sarapan’ selama 1 bulan pun seakan tidak membuat perut meronta-ronta terus minta diisi. 

Hari itu, Hari Raya, yang pasti itulah kali terakhir langkahnya untuk berkhotbah. Beliau menutup diri untuk urusan satu itu. Apa yang sudah dipelajari beliau hari sebelumnya pada akhirnya tidak pernah sampai kepada siapapun. 
 
Hari itu adalah awal new-normal untuk kehidupan keluarga kami. 
 
Beliau tentu yang paling banyak mengalami perubahan. Sebab buatku mungkin belum seberapa, hanya soal sekeliling tidak lagi ramai, dan ada beberapa aturan baru yang harus dilakukan saat berinteraksi dengan orang tertentu. Tidak ada ujaran kebencian satu kalipun yang beliau ajarkan. Hanya menjaga jarak. Ya, menjaga jarak. Butuh waktu yang tidak singkat untuk bisa ber-adaptasi. Butuh beberapa Hari Raya untuk memulihkan luka, dan menjadi biasa saja.

Beberapa tahun kemudian.
Suatu hari ketika semua sudah terasa normal, kuberanikan bertanya pada beliau tentang kisah lama itu. Aku yang sungguh pelupa (hanya ingat peristiwa tapi tidak soal tanggal) masih penasaran dengan ‘kapan’ tepatnya kejadian itu bertanya pada beliau. 
 
“Kapan nggih?” tanyaku. 
“Lah…mbuh…kelalen.” jawab beliau. 
 
Sesimpel itu, dan dengan mimik yang biasa saja. 
Ah, memang sulit mengorek cerita soal rasa-rasa dari beliau, kali ini pun aku gagal. Apapun itu, semoga beliau selalu kuat dan baik-baik saja. 
 
Terima kasih untuk tidak pernah mengajariku, anak(anak)nya untuk membenci siapapun. Meski rasa itu sempat tumbuh itu tidak lebih dari sebuah proses pendewasaan yang manusiawi. Merasa bahwa sakit orangtua adalah sakit anaknya. Merasa ikut menerima berbagai ketidak-adilan. Satu keluarga satu rasa.
Terima kasih untuk selalu mendoakanku (kami) sehingga dalam proses kehidupanku (kami), selalu terjaga, bisa memudarkan kembali benci-dendam-marah-sakit hati itu, hingga berakhir pada keyakinan bahwa segalanya adalah skenario-Nya dan itu selalu yang terbaik serta membawa kebaikan. InsyaAllah... 

Mudah-mudahan sekelumit kisah ini bisa membawa manfaat, bukan mudarat (na'udzubillah... Astaghfirullah...) 
Semoga pandemi lekas berakhir, aamiin...
Dan, akhir kata, Wallahu 'alam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.
 


Catatan akhir kisah:
Qadarullah, Raya (Idul Fitri 1 Syawal 1441 H) tahun ini terjadi pandemi. Seluruh masyarakat dihimbau untuk merayakan ibadah Raya di rumah masing-masing demi keselamatan diri dan keluarganya. Sehingga apa yang terjadi? Setiap rumah, setiap kepala rumah tangga, setiap individu di dalam rumah yang pemahaman agamanya terbaik, berkesempatan menjadi imam salat Raya sekaligus membawakan khotbah. Masya Allah! Sungguh siapa yang menyangka hal demikian akan terjadi. Namun, itulah skenario-Nya.
Hari ini mungkin kesan menakjubkan itu sudah semakin memudar, berganti dengan rutinitas yang semakin tidak jelas, kapan pandemi berakhir. Namun, ingat kembali untuk bersyukur dengan kejadian Raya kemarin.  Bagi-Nya tidak ada yang tidak mungkin. Segala yang terlihat buruk dimata manusia, sesungguhnya Allah menyelipkan peristiwa-peristiwa yang memberikan kebaikan diantaranya. Jadi, tetap berprasangka baik kepada-Nya. 
Inilah salah satu hikmah pandemi yang sebenarnya bisa dirasakan.

Bagi aku (beliau), hikmah pandemi yang khusus adalah beliau bisa melakukan salat Raya di (dekat) rumah lagi. Tidak harus pergi jauh, meskipun semakin jauh nilai kebaikan karena jarak juga InsyaAllah dijanjikan-Nya bertambah, tapi alasan dibaliknya yang membuat sedih. 
Kali itu, tentu juga melakukan Khotbah Raya kembali. Yang seterusnya membuat beliau mau menerima kembali tawaran Khotbah Jumat di sebuah masjid. Alhamdulillah.
Episode Khotbah Terakhir sudah menjadi bersambung dengan latar cerita yang baru.
Tabik!


'Kosong', Sebuah Pengalaman Rasa



" Namun, meski hanya sebesar nol koma nol nol nol satu persen, hingga jauh tersamarkan, sesungguhnya masalah (atau hal yang mengganjal) itu ada. Ketidakpastian akan sesuatu hal itu ada. "

Saat itu, di bangku tunggu depan loket pengambilan obat, aku merasa 'sendiri'. Tidak ada yang dikenal. Meski banyak orang berlalu lalang, namun hanya mampir sebentat di depan mata. Banyak orang berbicara, tapi dengan urusannya masing-masing. Jadi, meski dalam keramaian aku hanya merasa hening, atau lebih tepatnya 'kosong'. 
Biasa digelayuti anak-anak, saatnitu tidak, ya, seharusnya mereka sedang aman di rumah. Suami, lebih-lebih nyaman, ada 'staf khusus' untuk keperluannya. Untuk keperluannya, aku  berada. 
Kulihat jam di hape. Hape yang biasanya penuh dengan daya tarik, mungkin karena hape suami atau entah kenapa, tidak antusias. 
Setengah jam lagi menuju maghrib. Dan ada kewajiban yang belum kutunaikan. 
Lain dari hari biasanya, kali ini, aku merasa, antara melakukannya tepat waktu atau memundurkannya bersamaan dengan maghrib adalah sesuatu yang santai. Tidak ada rasa bersalah, tidak ada tergesa-gesa. Barangkali berada di tengah-tengah orang yang tidak dikenal, yang tidak tahu apakah aku sudah menunaikan kewajibanku atau belum, sangat mendukung perasaan itu. 
Satu detik, dua detik, masih hening. Meski demikian, samar ada rasa seperti "ini salah", dalam hati aku terus berkutat dengan, "tetap duduk atau beranjak". Banyak kenapa yang harus kutanyakan padaku sendiri. Memaksa. Harus kupaksa sepertinya, ini salah, dan apa? Belum sepenuhnya terjawab tapi sudah cukup untuk membuatku berdiri, dan menuju loket, " Mbak, saya tinggal sebentar ya, mau ashar dulu."


Cukup ke gedung sebelah saja. Dekat. Sepi. Bagus, sedikit malu. Entah kenapa malu, mungkin karena hampir terlambat. Segera kutunaikan kewajibanku. Perdana berkunjung ke rumah-Nya, sejak pandemi hadir. Baru kulihat tanda silang-silang yang biasanya cuma kudengar dari ilustrasi dan cerita orang. Seketika aku haru. Kenapa? Mungkin, pertama, karena 'lunas'. Kedua, diberi pengalaman baru tentang rasa 'kosong'. 
Simpulannya, secara kasat mata, segala urusan mungkin sudah terencana secara sempurna, logic dan membuat percaya diri. Tanpa perlu mengingat-Nya, semua bisa berjalan. Namun, meski hanya sebesar nol koma nol nol nol satu persen, hingga jauh tersamarkan, sesungguhnya masalah (atau hal yang mengganjal) itu ada. Ketidakpastian akan sesuatu hal itu ada. Dan hanya Dia yang mampu menyelesaikannya, membolak-balik setiap keadaan. 
Dan, setelah kembali ke ruang tunggu. Terlihat suasana ruangan tetap sama, tapi pikiran jauh lebih tenang. Dan lebih terarah. Sudah siap melaksanakan rencana awal. Selesai urusan, sampai di kamar inap, qodarullah, Dia sudah membuat skenario baru, yang jujur saja, semula itu cuma harapan. Harapan yang jika terwujud seharusnya memudahkan segalanya. Namun, sebelumnya sulit. 
Ya, ada yang sudah bisa "buang angin" dan itu artinya bisa kembali bersama ke rumah. Tidak perlu proses lebih panjang lagi. Alhamdulillah. 

(Reminder for July 14 2020, karena si "mata ikan") 

Mengenal Tokoh Dibalik Layar Drama Korea

Source: pixabay.com
Tiga tahun yang lalu saya pernah menulis sebuah artikel tentang drama Korea dan sinetron Indonesia di UC News. Akun saya di outlet berita UC Web, bisnis milik Alibaba tersebut, sudah tidak pernah saya buka. Alasannya sepele, lupa password, gezz!  Hal yang tampak sepele, tetapi akibatnya gak sepele banget.  Fyi, menulis di UC News buat saya adalah kesempatan perdana menulis mendapatkan fee.  Jika diteruskan, seharusnya jalan lebar buat mamak berdaster ini mengumpulkan rupiah.  Sayang, qadarullah, sudah berusaha mencari cara mendapatkan password-nya, tetapi belum berhasil juga. Sekarang InsyaAllah sudah saya ikhlaskan. Sepertinya masih disuruh Allah untuk mengumpulkan ilmu dulu di tempat lain.

Apalagi nengok tulisan saya di platform tersebut, ternyata sudah diakuisisi oleh akun lain. Ya, seperti itu contoh “permainan politik” di dunia digital. Mengingat artikel tersebut adalah tulisan saya, InsyaAllah saya tidak salah kan ya jika membagi ulang disini. Bismillah.

Oke deh, setelah curhat yang panjang di atas, sekarang saya mau back to the topic!

Source: pixabay.com

WHY DRAKOR?

Membicarakan soal drama Korea saya yakin tidak ada ‘matinya’. Apalagi selama pandemi masyarakat diharuskan stop kegiatan di luar rumah.  So, salah satu kegiatan untuk mengisi waktu di rumah pasti menonton. Drama Korea pastilah pilihan banyak orang, khususnya kaum hawa ya. Anda termasuk juga?

Jika Anda tahan berlama-lama menonton drakor, pastinya Anda sudah ‘tersihir’. Etapi, tentu saja ini bukan sihir dalam arti mistis ya, tetapi lebih kepada tertarik mengikuti episodenya terus menerus. Barangkali ada yang menonton lantaran tertarik pada penampilan tokohnya.  Tetapi, saya yakin meskipun wajah tokoh super tampan dan cantik, kalau alur ceritanya tidak asyik pasti cepat ‘pindah haluan’.  Jadi, saya yakin tema dan alur cerita dalam sebuah drama itu penting ya.

Nah, dibalik cerita itulah ada satu sosok yang penting.  Kalau dalam desain rumah yang cantik, sosok tersebut bernama arsitek, maka dalam drama Korea adalah penulis skenario.

PERAN PENULIS SKENARIO DALAM DRAKOR

Penulis skenario adalah seseorang yang menentukan nasib para tokoh di dalam ceritanya. Penulis skenario di Korea memiliki skill yang sangat baik. Mereka akan melakukan pengamatan yang mendalam untuk membuat sebuah drama. Mulai dari menciptakan karakter hingga alur plot yang menarik.

Dilansir dari aurantii.wordpress.com, di Korea Selatan penulis skenario drama bisa lebih terkenal dari aktor atau aktrisPenulis skenario drama yang sukses akan memilih sendiri pemeran dalam dramanya. Skenario yang hebat tidak akan melahirkan drama yang hits dan membuat para pemeran jadi lebih terkenal, tetapi juga bikin penontonnya susah move on.

Source: gempak.com

Seperti drama The World of The Married yang mendapatkan banyak perhatian. Dilansir merdeka.com (retrieved 20/5/2020), sejak penayangan episode pertama, rating drama ini kian melonjak. Hingga episode 16, drama ini mencetak rekor baru sebagai drama dengan rating tertinggi yang pernah dicapai oleh drama di jaringan televisi kabel Korea.

Namun, dibalik kesuksesan drama ini, khususnya di Indonesia, sepertinya penulis skenario dibalik drama ini kurang diperhatikan.  Hingga usai drama ini lebih banyak yang membahas “mengapa ini dan itu, tentang kehidupan dalam drama tersebut’. Bagus sih, memang seperti itu “sihir” drakor, seakan nyata. Tapi, setelah usai seharusnya penonton memahami. Itu hanya satu bagian episode dalam kehidupan seseorang, nasibnya sudah ditentukan. Dan yang menentukan adalah sang penulis skenario, dengan banyak pesan yang ingin disampaikan dan berharap bermanfaat. Pada tayangan khusus behind the scene, saya dibuat kagum oleh otak dibelakangnya. Sayangnya, tidak ada ulasan khusus tentang tim dibalik layarnya ya,

Fyi, penulis skenario drakor The World of The Married bernama Joo Hyun. Saya berusaha mencari fotonya, tapi belum ketemu, sama sekali! Yang pasti karya lain dari penulis tersebut diantaranya adalah Revolutionary Love (2017) yang dibintangi Siwon dan My Horrible Bos (2016)

Source: hiburan.dreamers.id

Penulis skenario yang terkenal lainnya adalah Kim Eun Sook. Drama-drama karya Kim Eun Sook selalu masuk dalam deretan drama yang booming. Beberapa diantaranya, Secret Garden (2010), Gentleman’s Dignity (2012), Heirs (2013), Descendants of The Sun (2016), dan Goblin: The Lonely and Great God (2016 – 2017). Penulis yang satu ini diberi julukan ‘prince maker’ karena seringkali membuat aktor dalam dramanya menjadi lebih terkenal dan dicintai oleh pemirsa. Trade mark drama buatan Kim Eun Sook adalah romantis yang berlebihan. Kim Eun Sook sangat tahu bagaimana alur cerita romantis yang diidamkan para wanita. Keunggulan tulisan Kim Eun Sook juga terlihat pada dialog-dialog yang keren dan selera humor yang disukai banyak orang.

Source: kholic.id

Kedua, Hong Sisters. Duet maut dua penulis bersaudara ini telah melahirkan sejumlah drama populer. Beberapa drama bukti kesuksesan mereka adalah My Sassy Girl Choon Hyang (2005), My Girl (2005 – 2006), You’re Beautiful (2009), My GirlFriend is Gumiho (2010), Master’s Sun (2013), dan Warm and Cozy (2015). Drama karya mereka lebih sering bergenre komedi romantis. Namun begitu, Hong Sisters pintar dalam membuat karakter-karakter unik dan mudah diingat sehingga drama-drama karya mereka memiliki kesan tersendiri di benak pemirsa dan tidak akan pernah terlupakan.

Penulis-penulis skenario drama Korea tersebut memperlihatkan bahwa masing-masing penulis memiliki keunikan msing-masing. Sehingga karya yang mereka hasilkan pun memiliki kekhasan dan menciptakan karakter serta cerita yang beragam.

Semoga artikel ini bermanfaat dan memberikan inspirasi ya.

Next, saya akan menulis tentang penulis skenario di Indonesia, sebagai pembanding ya.

Salam Bintu Tsaniyah,

Tabik.

 

 

Tips Memasak Steik yang Wajib Diketahui


Sebetulnya saya jarang banget makan steik ya, sampai lupa kapan terakhir kali menyantapnya. Maklum, kami hanyalah kaum menengah di bumi Indonesia yang selalu sangat bahagia kalau dapat hantaran daging saat Hari Raya Idul Adha, hehe...  Hari-hari biasa ya mentok soto ayam atau ayam kecap atau ayam krispi. Eh lah kok ayam terus, xixi...selingan aja dari menu sayur kok. Tapi apapun itu Alhamdulillah dimudahkan untuk bersyukur.


Termasuk kali ini, saya bersyukur bisa dapat ilmu baru tentang steik dari seorang chef (ahli memasak) lewat cooking class virtual yang diberikan oleh Cookpad. Meski pesertanya banyak, tetapi karena masuknya lewat pesan pribadi, jadi boleh ya saya anggap ini spesial, he...
Mendengarkan penuturan Chef Andy tentang steik membuat saya serasa mendengarkan penjelasan chef di Master Chef. Jadi terharu. Jika sebelumnya saya menganggap steik sebagai makanan yang disajikan di hot plate dengan siraman saus kental dan tatanan sayur rebus. Ternyata, steik yang sesungguhnya (menurut penuturan narasumber) bukan seperti itu. Steik tidak perlu ribet ini itu. Dengan bahan dan bumbu yang sederhana dan dalam waktu relatif singkat, bisa menghasilkan steik yang gurih dan beraroma. Syaratnya cuma satu, lakukan dengan teknik yang benar.

Steik menurut KBBI adalah daging (sapi, ayam, ikan, babi) yang dipotong lebar selebar telapak tangan, tebal 1,5 cm, dibumbui lada, garam atau bumbu lainnya, lalu digoreng atau dipanggang. Dari pengertian tersebut saja dapat diketahui ya jika steik itu simpel dan tidak neko-neko (hallah).
Langsung saja, berikut beberapa tips yang wajib diketahui saat memasak steik. Selain dari materi cooking class, saya lengkapi dari artikel Chef Andy dari medium.com (retrieved 16/5/2020).

1. Gunakan daging dalam kondisi suhu ruang, bukan frozen.

2. Kunci memasak steik adalah di kondisi "maillard reaction", reaksi kematangan (pencoklatan), yang pas. Hal itu membutuhkan kondisi pan yang panas, tidak kurang dari 140 C, saat steik dimasukkan.

3. Agar "maillard reaction" sempurna kondisi daging harus benar-benar kering. Caranya, lap daging hingga kering menggunakan kitchen towel atau tisu. Jika steik basah, saat bertemu dengan permukaan wajan panas, yang terjadi adalah energi panas digunakan terlebih dahulu untuk merubah wujud air menjadi uap — dan ini terjadi pada suhu 100ºC. Permukaan steik bakalan mentok di suhu tersebut dan sebelum Maillard Reaction terjadi, suhu dalam steak akan duluan naik melebihi 60ºC.

4. Saat terbaik memberikan garam pada steik adalah 45 menit sebelum dimasak. Daging diberi garam lalu disimpan di kulkas. Namun jika tidak sempat, maka sesaat setelah daging masuk ke dalam pan (kurang dari dua menit), berikan garam.


5. Lakukan proses 'resting' setelah daging matang sesuai dengan yang diinginkan (steik tebal 1,5 cm, medium rare 40 detik, medium 50 detik dan medium well 1 menit). Proses ini adalah membiarkan steik tanpa diiris selama 5 menit di atas piring saji. Selama itu sebetulnya steik masih berproses mematangkan diri. Dengan melakukan resting tidak akan banyak mengeluarkan cairan. Selain itu, steik akan terasa lebih juicy dan rasanya lebih terkonsentrasi.

6. Jika menggunakan daging sapi, pilih bagian yang mudah empuk (karena jarang bergerak), sebaiknya  menggunakan sirloin (has luar), tenderloin (has dalam) dan ribeye.

Steik ayam, sekedar contoh yaa


Kurang lebih, inilah tips yang harus diketahui tentang steik yang sesungguhnya, (berdasarkan versi Chef Andy).  Mudah-mudahan bermanfaat. Semangat mencoba dan memasak ya!

Salam Bintu Tsaniyah,
Tabik

Ragam Manfaat Cabai Hijau yang Wajib Diketahui


Di antara semua jenis cabai, menurut saya cabai hijau adalah yang paling unik. Jika fungsi umumnya cabai sebagai penambah pedas masakan. Maka cabai hijau tidak hanya menawarkan rasa pedas, karena sebetulnya tidak pedas-pedas amat jika dibandingkan cabai rawit.

Dalam dunia kesehatan misalnya, ternyata cabai hijau memiliki banyak sekali manfaat. Seperti dilansir dari palapanews.com (retrieved 5/2/2019), beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Cabai hijau mengandung antioksidan yang dapat melindungi sel-sel tubuh akibat radikal bebas. Serta efektif menurunkan penyakit jantung, Parkinson, Alzheimer dan katarak.
2. Cabai hijau memiliki nutrisi yang baik bagi jantung, yaitu mengandung enam kali vitamin C lebih banyak ketimbang jeruk. Selain itu, cabai hijau juga mengandung vitamin A, B, E, serta sumber kalium dan zat besi.
3. Satu buah cabai hijau mengandung 18 kalori yang dapat membantu menurunkan risiko penyakit jantung bagi Anda yang memiliki berat badan sehat. Dan juga memiliki 3 mg natrium yang aman bagi kesehatan jantung dan penderita hipertensi.
4. Cabai hijau bebas kolesterol dan lemak jenuh sehingga aman untuk dikonsumsi dalam takaran tertentu.
5. Cabai hijau mengandung Capsaicin, senyawa yang memberikan rasa pedas pada cabai hijau, juga membantu mencegah pembekuan darah dan melancarkan pencernaan.

Ternyata luar biasa juga ya, Masya Allah.

Sebagai bahan makanan tentunya semakin banyak lagi manfaat cabai hijau. Cabai hijau juga menjadi salah satu bahan yang mendukung ke-khasan menu masakan Indonesia. Salah satu contohnya sambal hejo dari Padang. Ya, cabai hijau yang diolah dengan resep tertentu bisa dinikmati tanpa tambahan bahan utama lain.

Namun, selain dibuat sambal, ada lagi lho jenis masakan lain yang juga khas Indonesia 'banget' karena memang ada di beberapa daerah. Yaitu, Jangan Lombok Ijo yang artinya sayur cabai hijau. Jika ada bahan tambahan seperti tahu atau dage (oncom) komposisinya tidak mengurangi pamor si cabai hijau dalam masakan.

Seperti jangan lombok yang bisa ditemukan di Indramayu. Meski suami saya mengatakan masakan ini tergolong biasa karena merasa sering menemukan di warteg-warteg, menurut saya malah sebaliknya. Tidak mudah menemukan jangan lombok ini. Namun, sekali menemukan, saya bisa melihat antusias masyarakat menikmatinya, termasuk saya. Warung yang menyajikan jangan lombok dengan rasa yang mantap selalu ramai dikunjungi pembeli. Sebagai kaum pendatang, ini sangat istimewa. Bahkan menurut saya bisa masuk dalam daftar kuliner khas Indramayu yang wajib dicoba.

Jika Anda penasaran seperti apa jangan Lombok itu, jangan khawatir. Saya share ya resepnya. Resep jangan lombok yang saya share ini diperoleh dari tetangga, asli Indramayu. Hanya takaran bumbu sesuai selera saya (catatan asli pas masak hilang, jadi ini komposisinya sedikit kira-kira ya, he...). Waktu itu kata suami, lumayan mantep, Alhamdulillah. Sila dicoba ya...

~Resep Jangan Lombok Ijo~

Bahan-bahan:
300 gram tahu masak, goreng sesaat
12 buah cabai hijau besar (bukan keriting), belah dua
2 lembar daun salam
1 ruas lengkuas, memarkan
1 ruas jahe, memarkan
1 sdm gula merah
1 sdt garam
Secukupnya kaldu bubuk
1 bungkus Kara 200 ml
2 sdm kecap manis
800-1000 ml air
Secukupnya minyak goreng
Bumbu halus:
3 buah kemiri
5 siung bawang merah
4 siung bawang putih
Pelengkap:
Lontong
Bawang goreng

Langkah:
1. Siapkan bahan-bahan yang diperlukan.
2. Tumis bumbu halus hingga harum dan berubah warna, masukkan daun salam, jahe dan lengkuas. Aduk merata.
3. Masukkan air, lanjutkan dengan tahu dan cabai hijau. Aduk merata. Tambahkan gula merah, garam dan kaldu penyedap.
4. Setelah mendidih, masukkan santan dan kecap manis. Aduk merata.
5. Setelah bumbu meresap dan kuah sedikit menyusut, matikan kompor. Jangan lombok siap disajikan dengan taburan bawang merah.

(Source resep: Cookpad - Bintu Tsaniyah)




Resep Simpel Tongkol Balado



Paling senang kalau ibu memasak masakan ini. Meskipun bukan termasuk sajian khusus setiap Lebaran, tetapi setiap mudik masakan ini sering dibuat ibu. Kendala memasak menu ini adalah menemukan bahan tongkol yang pas. 

Jika di kampung halaman bahan tongkol yang digunakan adalah tongkol asin. Sementara di rantau kebanyakan olahan ikan diasap, termasuk tongkol. Jika masakan ini menggunakan tongkol asap, menurut saya "nuansa kampung halamannya" kurang. 

Sekarang, di tanah rantau ini saya sudah menemukan orang yang menjual tongkol asin. Awalnya saya tidak sadar kalau tongkol pindang yang dijual seorang ibu tua itu bisa dipakai untuk masakan ini. Umumnya di rantau, pindang tongkol ini dimasak kuah petis. Waktu itu, iseng saja, ternyata dapat juga cita rasa khas masakan ibu saya. Alhamdulillah. 

Meski kali ini jangka waktu mudik ke kampung halaman terasa panjang, mungkin masih bisa diatasi dengan memasak masakan-masakan khas rumah ibu saya.
Semoga pandemi benar-benar lekas berlalu ya agar bisa kembali mudik secara normal. Aamiin...

~ Resep TONGKOL BALADO ~

Bahan-bahan
3 potong tongkol asin, suwir atau iris sesuai selera
Secukupnya minyak goreng
1 lembar daun salam
2 lembar daun jeruk 
Bumbu halus:
5 siung bawang merah
2 siung bawang putih
3 buah cabai merah
5 / lebih cabai rawit merah
1 buah tomat
1/2 sdt terasi
Secukupnya garam, gula dan kaldu penyedap

Langkah:
1. Goreng tongkol hingga setengah kering, sisihkan.
2. Gunakan minyak bekas goreng tongkol, tumis bumbu halus hingga matang. Masukkan bahan lain.
3. Tambahkan sedikit air, setelah mendidih masukkan tongkol goreng. Aduk merata.
4. Setelah bumbu meresap, kuah menyusut, siap disajikan. Usahakan hingga air betul-betul menyusut ya, tersisa minyaknya saja, agar awet. Masakan ini bertahan hingga 3 hari tanpa dihangatkan. Sengaja makannya dikit-dikit karena 'nglawuhi' bumbunya. Sila dicoba ya ☺️

Cara Mudah Lewati Pandemi

Nia Ramadhani (Source: Instagram Ramadhaniabakrie)

Nia Ramadhani mengatakan, “Sejak kecil saya diajarkan oleh ayah saya untuk tidak selalu ‘melihat keatas’, tetapi ‘melihat apa yang ada dibawah’ kita.  Karena jika selalu melihat yang lebih dari kita, sampai kapanpun tidak akan pernah menemukan kepuasan.  Sementara, jika sebaliknya, yang ada kita akan mudah bersyukur dan bahagia.”

Resep Simpel Sate Taichan, Pasti Mantul!

Di masa pandemi seperti sekarang ini, ayam mungkin menjadi salah satu sumber protein hewani yang paling banyak dikonsumsi masyarakat. Tentu saja setelah telur. Malah ada fenomena di beberapa daerah harga ayam menurun drastis. Meski ini bukan hal yang baik untuk peternak ayam, tapi bagi masyarakat ini semacam keberuntungan ya. Ya, apapun bersyukurlah saja, tentunya para peternak ayam, jika ikhlas InsyaAllah suatu saat rezeki akan diganti.

Kembali ke soal ayam. Seringnya membeli ayam tentunya bisa bikin bosan ya (dalam hati bersyukur bisa membeli ayam). Apalagi kalau bosan itu terdengar dari celotehan si kecil. Emak bisa pusing tujuh keliling ya. So, perlu ide kreatif setiap saat untuk mengatasinya. Saya putuskan untuk mencari di laman Cookpad.  Dan menemukan resep yang simpel, karena hanya memakai teflon. 

Fyi, sate taichan adalah sebuah varian sate yang berisi daging ayam yang dibakar tanpa baluran bumbu kacang atau kecap seperti sate pada umumnya. Asal sate ini masih simpang siur.  Ada yang mengatakan dikenalkan oleh orang Jepang, ada pula yang menyebutkan dari orang Korea Selatan.  Namun, apapun itu, masakan ini popular dan  rasanya mantap juga. Alhamdulillah mantul! Sensasi pedas, asam, asinnya pas. Yuk, cobain!

RESEP 
Bahan-bahan:


250 gram ayam fillet, potong dadu 1x1 cm/ sesuai selera
15-20 Tusuk sate
Bahan marinasi:
1/4 sdt garam
1/2-1 buah jeruk limau, peras airnya
1/4 sdt lada bubuk
1/2 sdt bawang putih bubuk (me: kaldu ayam bubuk)
Bahan sambal:
3 buah cabai rawit merah (me: 5)
5 buah cabai rawit keriting
3 siung bawang merah
1 siung bawang putih
1 ujung sdt garam
1/4 sdt kaldu bubuk
1 sdt gula pasir
2 lembar daun jeruk
1/2-1 jeruk nipis
100 ml air
1 sdt minyak
Secukupnya minyak untuk olesan saat memanggang


Langkah:

1. Marinasi ayam, diamkan di kulkas selama 15 menit.

2. Sementara menunggu marinasi ayam, buat sambal sate terlebih dahulu. Rebus semua bahan sambal hingga mendapat kekentalan yang sesuai. Tuang di wadah. 


3.Tusuk ayam yang telah dimarinasi. Jumlah setiap tusukan sesuaikan masing-masing. 


4. Siapkan panggangan. Untuk memudahkan proses ini, saya gunakan sarangan (tempat untuk meletakkan makanan saat dikukus dalam panci). Tunggu panasnya pas. Olesi ayam yang ditusuk dengan minyak, lalu panggang. 


5. Setelah dibolak-balik hingga seluruh bagian matang, sate taichan siap disajikan dan disantap. Yummy! 


 

Catatan Bintutsaniyah Template by Ipietoon Cute Blog Design