Spicy Sauteed "Kikil" (Tumis/ Oseng Kikil Mercon)

 


Kikil adalah bagian daging sapi di bagian kaki yang biasa digunakan sebagai bahan dasar makanan terutama di Asia. Di Indonesia, biasanya daging ini digunakan untuk sup, tapi bisa juga ditumis. Di beberapa daerah, seperti Yogyakarta, kikil biasanya ditumis super pedas dan menjadi bagian dari kuliner khas.

Resep Oseng Kikil Mercon (plus Buncis)


Bahan-bahan
250 gr kikil, cuci bersih
2 lembar daun salam
1 ruas jari lengkuas, memarkan
1/4 sdt garam


Bumbu:
100-150 gr cabai rawit merah / sesuai selera pedas Anda
7 siung bawang merah
3 siung bawang putih
3 cm jahe, memarkan
2 lembar daun jeruk
1/2 sdm gula merah
1 sdt kaldu bubuk sapi/ garam


Tambahan (optional)
10 batang buncis, potong uk. 3 cm

Langkah:
1. Rebus kikil dengan daun salam, laos (lengkuas) dan garam hingga lunak. Boleh dipotong terlebih dahulu atau setelah lunak ya.
2. Siapkan bumbu dan bahan lainnya. Untuk memudahkan proses ulek, pada resep asli sebetulnya bawang dan cabai utuh digoreng dahulu. Tapi untuk menghemat waktu saya iris tipis saja, setelah itu haluskan kasar.
3. Tumis bumbu yang telah dihaluskan, tambahkan daun jeruk, daun salam, laos yang sebelumnya ada di rebusan kikil, aduk rata.
4. Masukkan kikil, tambahkan garam, kaldu dan gula merah, tuang juga air sebanyak 100 ml/ secukupnya, aduk merata.
5. Sesaat setelah mendidih, masukkan buncis. Jika tidak menggunakan bahan lain seperti buncis, cukup masak hingga kuah menyusut dan bumbu meresap ya.
6. Setelah matang, siap disajikan.

Selamat mencoba,

Salam Bintu Tsaniyah.

Nasi Koredan, Tradisi Makan Zaman Old



NASI KOREDAN - Adalah definisi dari nasi (biasanya sisa semalam) yang dicampur dengan secukupnya tumisan. Misalnya, masak tumis sudah matang dan dipindah ke mangkok saji, sengaja seukuran satu sendok sayur atau secukupnya dibiarkan di wajan. Cemplungin deh nasinya, aduk merata. Kompor nyalakan kembali. 

Dijamin maknyus.... Zaman dulu favorit itu kalau ibu saya masak kering tempe. Lebih nikmat kalo disantap ala nasi koredan ini. Kalo ini saya campur dengan kikil mercon, sengaja banget pakenya nasi baru, he... Zaman now, zaman magic com, nasi sisa itu sepertinya barang langka, he...



Sup Kerang Dara Simpel


Sekilas tentang Kerang Darah (Dara)

Dilansir dari laman wikipedia.org (retrieved 5/3/2021), kerang darah (Anadara granosa) adalah sejenis kerang yang biasa dimakan oleh warga Asia. Anggota suku Arcidae ini disebut kerang darah karena ia menghasilkan hemoglobin dalam cairan merah yang dihasilkannya.

Kerang ini menghuni kawasan Indo-pasifik dan tersebar dari pantai Afrika timur sampai ke Polinesia. Hewan ini gemar memendam dirinya ke dalam pasir atau lumpur dan tinggal di mintakat pasang surut. Dewasanya berukuran 5 sampai 6 cm panjang dan 4 sampai 5 cm

Budidaya kerang darah sudah dilakukan dan ia memiliki nilai ekonomi yang baik. Meskipun biasanya direbus atau dikukus, kerang ini dapat pula digoreng atau dijadikan satai dan makanan kering ringan. Ada pula yang memakannya mentah.

Resep Sup Kerang Dara


 
Ini adalah salah satu resep simpel olahan kerang dara (darah) yang bisa dicoba di rumah. Menggunakan bumbu-bumbu tradisional khas Indonesia. Rasanya dijamin segar. Yuk simak resepnya di bawah ini!

Bahan-bahan

500 g kerang dara segar

Bumbu:

3 siung bawang putih, haluskan

6 siung bawang merah, iris tipis

2 lembar daun salam

2 lembar daun jeruk

1 batang serai, memarkan

1 ruas jahe, memarkan

1 sdt garam

1/2 sdt merica bubuk

1/4 sdt penyedap rasa (optional)

Bahan lain:

1 batang daun bawang, iris serong

500 ml air, tambahkan sesuai kebutuhan

2-3 sdm minyak goreng


Langkah:

1. Siapkan semua bahan yang diperlukan. Cuci kerang dara di air yang mengalir hingga bersih, sikat jika perlu.

2. Panaskan wajan dengan api besar, tumis semua bumbu hingga harum.

3. Masukkan air, lanjutkan dengan kerang dara, aduk merata. Koreksi rasa.

4. Setelah kerang matang, matikan api. Dalam referensi yang saya pakai, cukup 4 menit kerang matang di air mendidih dengan posisi wajan ditutup. Tapi, jika belum yakin ditambah saja ya waktunya, sumber resep asli mengatakan 10 menit. Sajikan hangat ya. 

Selamat mencoba, semoga bermanfaat.

Salam Bintu Tsaniyah.


Tips Penggunaan Awal Oven 'Tangkring' (Oven Kompor)

Oven tangkring merupakan istilah umum masyarakat Indonesia saat menyebutkan oven kompor.  Bahkan biasanya cukup disebut dengan otang saja.  Harga otang relatif terjangkau dan irit, seperti saat masak sehari-hari saja.  Meskipun secara bentuk, ukuran dan penampilan kurang menarik dibanding oven listrik.  Soal kekokohan juga lebih mantap oven gas.  Namun, untuk kebutuhan baking rumahan apalagi pemula (seperti saya), otang ini adalah pilihan yang paling pas.  Bahkan ada beberapa pengusaha kue yang setia loh memakai otang ini, bahkan hasil kuenya cukup sempurna.

Ada beberapa merek oven kompor yang terkenal di Indonesia, diantaranya adalah Hock, Butterfly, Narinos dan Bima.  Nah, yang paling murah dan banyak di pasaran adalah merek Bima.  Kisaran harganya sekitar Rp 150.000,00.  Namun, tergantung daerah dan tokonya ya.  Beberapa waktu yang lalu saya mendapatkan oven tersebut dengan harga 125 ribu, di daerah Indramayu.

Nah, kali ini saya akan menulis tentang pengalaman saya saat menggunakan oven kompor saat pertama kali.  Sebagai pemula yang sama sekali belum pernah memakai oven pasti khawatir, takut salah.  Kalau tidak hati-hati proses baking yang umumnya tidak sederhana, bisa-bisa fatal kan ya cuma di saat terakhir, saat memanggang.  Agar tidak terjadi demikian, maka perlu mencari detailnya terlebih dahulu, barangkali ada treatment khusus yang harus dilakukan  Bertanya kepada ibu saya, ternyata beliau sepertinya lupa, jadi saya putuskan untuk mencari di internet.  Ada beberapa sumber di Youtube dan Google yang saya ambil.  Selain tentang pengenalan bagian dari oven kompor, rupanya dalam penggunaannya pun ada langkah-langkah yang harus dilakukan, agar hasil panggangan berhasil dengan baik.

Berikut cara yang saya himpun dan lakukan untuk penggunaan awal oven kompor alias oven tangkring alias otang ini:

1. Letakkan oven di atas kompor.  Sebagai tatakan oven, gunakan beberapa potong batu bata di ketiga sisi (lihat gambar).  Oya untuk pertama kali batu batanya saya cuci dulu menggunakan sabun. Setiap selesai menggunakan oven, batu bata tersebut saya simpan di tempat yang aman dari kotoran (bungkus dengan kantong kresek).

Jadi, tatakan kompor yang sebenarnya sebaiknya dilepas.  Tujuan langkah ini adalah agar ada jarak yang lebih antara api dan oven untuk mengurangi resiko over heat.

(Langkah 2 dan selanjutnya adalah khusus untuk penggunaan awal saja ya.  Berdasarkan postingan di Youtuber Diyan Permana  hal ini dilakukan untuk mengurangi bau cat yang mungkin timbul.) 

2. Siapkan daun pandan berjumlah 9 helai. Lipat dua dan buat simpul. Letakkan di bagian dasar oven (lihat gambar).


3. Panaskan kompor dengan api terkecil.  Jangan lupa posisi lubang atas tertutup ya! Oya, tambahan, di atas oven, saya juga letakkan setengah batu bata lagi. Tujuannya adalah untuk menstabilkan posisi oven agar tidak mudah goyang. 

Menurut sumber referensi, pada 5-10 menit pertama ovennya mengeluarkan asap, kemungkinan karena apinya selama durasi itu biasa, baru kemudian dikecilkan.  Dan menurutnya, hal itu normal tidak apa-apa.  Namun, pada pemanasan awal yang saya lakukan (dengan api terkecil) tidak muncul sama sekali.


4. Teruskan pemanasan dengan api kecil hingga kurang lebih 50 menit ke depan.  Total pemanasan adalah 1 jam.  

Hasil akhir daun pandan ampak berubah warna menjadi kecoklatan.  Jika selama 1 jam daun pandan belum berubah warna, besarkan apinya hingga dicapai yang diharapkan (lihat gambar).

5. Matikan kompor,bersihkan sisa-sisa daun pandan, oven siap digunakan. Selamat memanggang roti! 


Semoga artikel ini bermanfaat ya. 

Salam Bintu Tsaniyah.

Selamat Hari Ibu!

Tanggal 22 Desember merupakan hari peringatan atau perayaan yang dilakukan sebagai bentuk penghargaan terhadap perjuangan seorang ibu dalam keluarga. Sejarah mengatakan bahwa Hari Ibu ditetapkan sebagai hari Nasional sejak tahun 1959 oleh Presiden Soekarno. Setelah sebelumnya diputuskan dalam sebuah Kongres Perempuan Indonesia pada tahun 1928.

Mungkin sejarah tampak tidak begitu penting, namun di masa sekarang dimana segala sesuatu tampak 'abu-abu' sehingga memunculkan banyak keraguan. Informasi tersebut sangat diperlukan. Apalagi ketika saya sudah menjadi seorang ibu. Dimana, saya (dan juga suami) adalah kamus pertama untuk anak-anak. 

Terlebih di masa pandemi ini, perjuangan seorang ibu secara nyata mungkin  menjadi semakin berat. Anak-anak yang harus bersekolah di rumah atau pendapatan keluarga yang semakin terbatas. Belum lagi persoalan lain, seperti aktivitas yang terbatasi, membuat para ibu rentan untuk menjernihkan pikiran. Subhanallah... 

Tapi, Ibu, itu mungkin gambaran rasa ya. Menapaki kenyataano, kita haruslah senantiasa optimis dan berusaha mengedepankan berpikir positif. Mulailah dari bersyukur atas keadaan yang paling sederhana sekalipun, apapun itu. Alhamdulillah 'ala kulli hal, "segala puji bagi Allah dalam setiap keadaan”, mungkin bisa menjadi mantra penguat ibu. 

Sesuai dengan tema pemerintah tentang Hari Ibu tahun ini, yaitu 'Perempuan Berdaya Indonesia Maju', yaitu:

Untuk menjadi berdaya itu tidak hanya bisa diraih dengan materi saja. Buka pikiran seluas-luasnya, mohon petunjuk-Nya untuk bisa menyaring mana hal-hal yang baik saja. Ikuti ritmenya, maka terbitlah sebuah jalan untuk menghasilkan sesuatu. InsyaAllah. 


Selamat Hari Ibu, untuk para ibu (& calon ibu)  Indonesia. 

Stay safe, stay healthy, always positive mind for you all ❤

Happy mom, happy family, InsyaAllah 😇



Khotbah Terakhir

Source: pixabay.com
 
New Normal. Adaptasi. Jaga jarak. Kata-kata ini mungkin menjadi familiar akhir-akhir ini. Namun, siapa sangka sudah sejak sekian lama aktivitas itu ada. Hanya saja muncul tanpa disadari dan tanpa penamaan.

Suatu siang di ruang duduk belakang, aku sedang ‘entah ngapain’ duduk di kursi. Sementara jarak beberapa kursi ada beliau. Duduk santai bersandar, kedua kaki diangkat menekuk lututnya hingga seakan sejajar dengan bahunya. Dengan kacamata, beliau menekuri satu bendel kertas ukuran A5 dengan serius. Tak berapa lama. 
 
“Mbak, tulisan kayak kiye (mengeja beberapa huruf) macane kaya kiye (melafalkan satu kata dalam bahasa Inggris), bener ora?” tanya beliau. 
“Nggih, leres. Badhe ngge napa sih?” tanyaku. 
“Lha kan ngesuk arep khotbah raya ya, nah…nah…nek kiye (mengeja kata lagi) bener mbok?” kata beliau. 
 
Aku tahu terkadang beliau memang serius bertanya, tapi terkadang pula beliau hanya sekedar membuka obrolan sambil sesekali bercanda. Tapi, soal mempelajari bahan saat beliau hendak berbicara didepan umum, entah itu khotbah Jumat, khotbah Hari Raya atau ceramah rutin, itu sudah pasti dilakukan. Meski aktivitas pidato tersebut sudah menjadi rutinitas layaknya ‘makanan pokok’ selama bertahun-tahun. 
Itu menjadi pemandanganku sehari-hari. Beliau dan bacaan. Dan siang itu obrolan kami cukup mengasyikkan. 

Namun, memang segala hal yang ada di dunia ini tidak ada yang abadi. Dan hadirnya perubahan tidak selalu bisa diprediksi kapan dan berupa apa. Demikian pula yang terjadi keesokan harinya. 

Pagi itu aku sudah berangkat ke masjid raya. Mendapat tempat duduk yang nyaman, duduk takzim sambil bertakbir. Tak berapa lama, kulihat sosok beliau berjalan. Biasa, dengan koko panjang berwarna terang dan mengenakan sarung. Tampak pula sajadah yang terlipat rapi memanjang tersampir di bahunya. Kuyakin beliau juga harum, karena minyak wangi sama wajibnya dengan ibadah. 
Sekitar tiga meter sebelum beliau sampai di pojokan jalan, hanya 20 meter dari masjid, tiba-tiba terdengar suara dari dalam ruangan. Lewat pengeras suara, berbunyi penanda bahwa acara akan segera dimulai. Tapi, beliau belum sampai di lokasi, bagaimana bisa penanda terlebih dahulu? 
 
Bukan hanya aku yang bingung. Kudengar sekeliling pun mulai berbisik-bisik merasa aneh. Semua tahu beliau lah penceramahnya. Hatiku terkesiap, terlihat beliau memutar langkah. Beliau berbalik pulang. Aduh, ini buruk! 
Ya, selanjutnya acara raya hari itu berlangsung tanpa ada beliau. Sisa pelaksanaan ibadah raya kulakukan dengan hati tidak nyaman. Kuharap Tuhan memaafkanku. Setelah selesai, dengan langkah cepat, aku langsung berjalan pulang. Penasaran, bagaimana keadaan beliau. 

Rumah tampak hening, kubuka pintu depan. Tak perlu butuh waktu lama untuk mencari beliau. Beliau ada di kursi ruang tamu, di kursi favoritnya, posisi pojok. Lupa pastinya, kurasa beliau sedang membaca buku. Aku datang. Beliau hanya mengangkat matanya, mungkin sejenak tanda menyatakan selamat datang. Sekilas kulihat, matanya sedikit merah. Apa iya? Entah, tapi bukan sesuatu yang baik, raut wajahnya menyatakan itu. 

Hari itu, Hari Raya, tapi seisi rumah tidak terlalu bersuka-cita. Meski simpati khalayak cukup berdatangan. Meski hidangan segala rupa ala kadarnya sudah tersedia. Kebahagiaan usai kewajiban ‘tidak sarapan’ selama 1 bulan pun seakan tidak membuat perut meronta-ronta terus minta diisi. 

Hari itu, Hari Raya, yang pasti itulah kali terakhir langkahnya untuk berkhotbah. Beliau menutup diri untuk urusan satu itu. Apa yang sudah dipelajari beliau hari sebelumnya pada akhirnya tidak pernah sampai kepada siapapun. 
 
Hari itu adalah awal new-normal untuk kehidupan keluarga kami. 
 
Beliau tentu yang paling banyak mengalami perubahan. Sebab buatku mungkin belum seberapa, hanya soal sekeliling tidak lagi ramai, dan ada beberapa aturan baru yang harus dilakukan saat berinteraksi dengan orang tertentu. Tidak ada ujaran kebencian satu kalipun yang beliau ajarkan. Hanya menjaga jarak. Ya, menjaga jarak. Butuh waktu yang tidak singkat untuk bisa ber-adaptasi. Butuh beberapa Hari Raya untuk memulihkan luka, dan menjadi biasa saja.

Beberapa tahun kemudian.
Suatu hari ketika semua sudah terasa normal, kuberanikan bertanya pada beliau tentang kisah lama itu. Aku yang sungguh pelupa (hanya ingat peristiwa tapi tidak soal tanggal) masih penasaran dengan ‘kapan’ tepatnya kejadian itu bertanya pada beliau. 
 
“Kapan nggih?” tanyaku. 
“Lah…mbuh…kelalen.” jawab beliau. 
 
Sesimpel itu, dan dengan mimik yang biasa saja. 
Ah, memang sulit mengorek cerita soal rasa-rasa dari beliau, kali ini pun aku gagal. Apapun itu, semoga beliau selalu kuat dan baik-baik saja. 
 
Terima kasih untuk tidak pernah mengajariku, anak(anak)nya untuk membenci siapapun. Meski rasa itu sempat tumbuh itu tidak lebih dari sebuah proses pendewasaan yang manusiawi. Merasa bahwa sakit orangtua adalah sakit anaknya. Merasa ikut menerima berbagai ketidak-adilan. Satu keluarga satu rasa.
Terima kasih untuk selalu mendoakanku (kami) sehingga dalam proses kehidupanku (kami), selalu terjaga, bisa memudarkan kembali benci-dendam-marah-sakit hati itu, hingga berakhir pada keyakinan bahwa segalanya adalah skenario-Nya dan itu selalu yang terbaik serta membawa kebaikan. InsyaAllah... 

Mudah-mudahan sekelumit kisah ini bisa membawa manfaat, bukan mudarat (na'udzubillah... Astaghfirullah...) 
Semoga pandemi lekas berakhir, aamiin...
Dan, akhir kata, Wallahu 'alam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.
 


Catatan akhir kisah:
Qadarullah, Raya (Idul Fitri 1 Syawal 1441 H) tahun ini terjadi pandemi. Seluruh masyarakat dihimbau untuk merayakan ibadah Raya di rumah masing-masing demi keselamatan diri dan keluarganya. Sehingga apa yang terjadi? Setiap rumah, setiap kepala rumah tangga, setiap individu di dalam rumah yang pemahaman agamanya terbaik, berkesempatan menjadi imam salat Raya sekaligus membawakan khotbah. Masya Allah! Sungguh siapa yang menyangka hal demikian akan terjadi. Namun, itulah skenario-Nya.
Hari ini mungkin kesan menakjubkan itu sudah semakin memudar, berganti dengan rutinitas yang semakin tidak jelas, kapan pandemi berakhir. Namun, ingat kembali untuk bersyukur dengan kejadian Raya kemarin.  Bagi-Nya tidak ada yang tidak mungkin. Segala yang terlihat buruk dimata manusia, sesungguhnya Allah menyelipkan peristiwa-peristiwa yang memberikan kebaikan diantaranya. Jadi, tetap berprasangka baik kepada-Nya. 
Inilah salah satu hikmah pandemi yang sebenarnya bisa dirasakan.

Bagi aku (beliau), hikmah pandemi yang khusus adalah beliau bisa melakukan salat Raya di (dekat) rumah lagi. Tidak harus pergi jauh, meskipun semakin jauh nilai kebaikan karena jarak juga InsyaAllah dijanjikan-Nya bertambah, tapi alasan dibaliknya yang membuat sedih. 
Kali itu, tentu juga melakukan Khotbah Raya kembali. Yang seterusnya membuat beliau mau menerima kembali tawaran Khotbah Jumat di sebuah masjid. Alhamdulillah.
Episode Khotbah Terakhir sudah menjadi bersambung dengan latar cerita yang baru.
Tabik!


'Kosong', Sebuah Pengalaman Rasa



" Namun, meski hanya sebesar nol koma nol nol nol satu persen, hingga jauh tersamarkan, sesungguhnya masalah (atau hal yang mengganjal) itu ada. Ketidakpastian akan sesuatu hal itu ada. "

Saat itu, di bangku tunggu depan loket pengambilan obat, aku merasa 'sendiri'. Tidak ada yang dikenal. Meski banyak orang berlalu lalang, namun hanya mampir sebentat di depan mata. Banyak orang berbicara, tapi dengan urusannya masing-masing. Jadi, meski dalam keramaian aku hanya merasa hening, atau lebih tepatnya 'kosong'. 
Biasa digelayuti anak-anak, saatnitu tidak, ya, seharusnya mereka sedang aman di rumah. Suami, lebih-lebih nyaman, ada 'staf khusus' untuk keperluannya. Untuk keperluannya, aku  berada. 
Kulihat jam di hape. Hape yang biasanya penuh dengan daya tarik, mungkin karena hape suami atau entah kenapa, tidak antusias. 
Setengah jam lagi menuju maghrib. Dan ada kewajiban yang belum kutunaikan. 
Lain dari hari biasanya, kali ini, aku merasa, antara melakukannya tepat waktu atau memundurkannya bersamaan dengan maghrib adalah sesuatu yang santai. Tidak ada rasa bersalah, tidak ada tergesa-gesa. Barangkali berada di tengah-tengah orang yang tidak dikenal, yang tidak tahu apakah aku sudah menunaikan kewajibanku atau belum, sangat mendukung perasaan itu. 
Satu detik, dua detik, masih hening. Meski demikian, samar ada rasa seperti "ini salah", dalam hati aku terus berkutat dengan, "tetap duduk atau beranjak". Banyak kenapa yang harus kutanyakan padaku sendiri. Memaksa. Harus kupaksa sepertinya, ini salah, dan apa? Belum sepenuhnya terjawab tapi sudah cukup untuk membuatku berdiri, dan menuju loket, " Mbak, saya tinggal sebentar ya, mau ashar dulu."


Cukup ke gedung sebelah saja. Dekat. Sepi. Bagus, sedikit malu. Entah kenapa malu, mungkin karena hampir terlambat. Segera kutunaikan kewajibanku. Perdana berkunjung ke rumah-Nya, sejak pandemi hadir. Baru kulihat tanda silang-silang yang biasanya cuma kudengar dari ilustrasi dan cerita orang. Seketika aku haru. Kenapa? Mungkin, pertama, karena 'lunas'. Kedua, diberi pengalaman baru tentang rasa 'kosong'. 
Simpulannya, secara kasat mata, segala urusan mungkin sudah terencana secara sempurna, logic dan membuat percaya diri. Tanpa perlu mengingat-Nya, semua bisa berjalan. Namun, meski hanya sebesar nol koma nol nol nol satu persen, hingga jauh tersamarkan, sesungguhnya masalah (atau hal yang mengganjal) itu ada. Ketidakpastian akan sesuatu hal itu ada. Dan hanya Dia yang mampu menyelesaikannya, membolak-balik setiap keadaan. 
Dan, setelah kembali ke ruang tunggu. Terlihat suasana ruangan tetap sama, tapi pikiran jauh lebih tenang. Dan lebih terarah. Sudah siap melaksanakan rencana awal. Selesai urusan, sampai di kamar inap, qodarullah, Dia sudah membuat skenario baru, yang jujur saja, semula itu cuma harapan. Harapan yang jika terwujud seharusnya memudahkan segalanya. Namun, sebelumnya sulit. 
Ya, ada yang sudah bisa "buang angin" dan itu artinya bisa kembali bersama ke rumah. Tidak perlu proses lebih panjang lagi. Alhamdulillah. 

(Reminder for July 14 2020, karena si "mata ikan") 
 

Catatan Bintutsaniyah Template by Ipietoon Cute Blog Design